Rabu, 08 Februari 2012

,

[FanFiction] I Want to Snatch You Away Right Now

Annyeong All~ \\^O^//
Kali ini aku kembali.
Aku cuma mau ngeshare tentang FF.ku
FF Amatiran sih -.-
Tapi seenggaknya aku udah nyoba._.
Yang gag suka silahkan dilewatkan saja yah^^
FF ini terinspirasi dari lagu Daikoku Danji dengan judul yang sama.
Awalnya pengen ngikutin lagunya, tapi malah kemana - mana -.-
Let's check this out--> 

                Sore ini kami, ah tidak maksudku aku dan dia sedang berjalan pulang dari sekolah. Ditemani matahari yang hampir tenggelam keperaduannya aku dan dia bersenda gurau bersama. Membicarakan banyak hal yang menyenangkan hingga membuatku dan juga dia tertawa tanpa henti. Aku lalu menghentikan tawaku, menatapnya yang masih saja mengoceh tentang teman sekelas  kami di sekolah. Dia tersenyum dan tertawa. Aku tersenyum sendiri saat melihatnya, aku begitu menyukai wajahnya yang dipenuhi dengan senyuman dan tawanya itu. Aku menyukainya.
               Namun tiba – tiba langkah kami terhenti. Senyuman itu juga ikut terhenti.
                “Ubaitai~ Kimi wo imai suguni. Boku naraba kitto. Kimi wo kanashimasenai no ni
                Nada dering handphone miliknya berbunyi dan sontak dia langsung mengambil handphone miliknya dari dalam tasnya. Dilihatnya sekilas nama dari display handphonenya. Kemudian diangkatnya telepon yang masih berdering itu.
                “Yeoboseyo.”
                Entah apa yang terjadi  namun saat beberapa detik dia berbicara dengan seseorang ditelepon raut wajahnya mendadak berubah. Dia menatap kepadaku cemas lalu berusaha untuk memperlebar jarak dariku. Dia membelakangiku dan berbicara setengah berbisik dengan orang di telepon itu. Aku hanya diam saja melihat tingkahnya. Aku bisa menebak siapa orang yang sedang diteleponnya. Aku tau itu.
                Kulihat dia sudah selesai berbicara dengan ‘seseorang’ di telepon itu. Dia menutup teleponnya. Aku memperhatikannya cemas. Dia masih membelakangiku. Kepalanya menunduk dan kulihat tangannya terkepal sekaligus bergetar dengan hebat.
                “Hey. Gwaenchana?” tanyaku cemas.
                Namun tak ada jawaban dari orang yang sedang aku tanya itu. Dia tak meresponku. Kulangkahkan kakiku untuk mendekatinya. Kuraih lengannya, bermaksud untuk menariknya halus dan membuatnya menghadap padaku. Tapi dia tidak bergeming. Ku coba lagi untuk membalik tubuhnya perlahan dan mendadak hatiku terasa sangat sakit.
                Wajah yang tadi dipenuhi dengan senyum dan tawa itu kini berubah dipenuhi dengan air mata. Wajahnya masih menunduk. Namun bisa kurasakan bahwa dia sedang menangis. Dia menggigit bibir bawahnya kuat – kuat bermaksud untuk menahan air mata keluar lagi, namun sepertinya hal itu tidak berhasil. Air mata itu masih saja mengalir dan tak bisa dia hentikan.
               
“Hey, gwaenchana? Apa yang terjadi? Apa ada sesuatu?” Tanyaku lagi cemas.
                Lagi – lagi dia tak menjawabku. Dia masih terisak didepanku dengan wajah menunduk. Aku berusaha untuk mengangkat wajahnya. Wajahnya kini bisa kulihat dengan jelas. Tapi sorot mata indahnya tenggelam bersamaan dengan banyaknya air mata yang keluar.
                “Apa yang terjadi?”
                Aku bertanya lagi, kudekatkan wajahku kearahnya. Dia lalu menatapku. Tatapan matanya begitu menghamba dan sulit kupahami. Aku mencoba menghapus air matanya dengan kedua tanganku. Rasanya benar – benar menyakitkan saat melihat orang yang kau sayangi menangis seperti ini. Aku sungguh tak menginginkan ekspresi wajah ini terlihat lagi.
                “Gomawo.” Ucapnya pelan dengan senyum getir.
                Aku diam, dia berusaha menutupi semuanya dariku. Dan aku menyadari hal itu. Senyum yang bergetar dan seolah dipaksakan itu… aku bisa merasakan ada sesuatu hal yang terjadi. Namun dia hanya diam.
                “Ayo kita pulang.”
                Dia kemudian menggenggam tanganku kuat. Kulihat dia seperti sedang menahan sesuatu. Tatapan matanya juga sungguh berbeda. Aku menghela nafas panjang dan kemudian  membalas menggenggam tangannya. Dia tersenyum padaku seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi. Aku menatapnya nanar lalu dengan setengah enggan aku berusaha membalas senyuman itu.

@@@@@

                Kurebahkan tubuhku lelah diatas kasur, entah kenapa hari ini begitu lelah. Kejadian saat pulang sekolah tadi masih terus membayangiku. Wajahnya yang menangis dan senyumnya yang sungguh dipaksakan. Entahlah, rasanya dia sudah memenuhi pikiranku saat ini. Aku lalu menoleh ke arah sebuah bingkai foto yang terpajang di samping meja tempat tidurku. Kutatap lekat sosok yang berada di dalam foto itu. Wajahku dan juga dia yang tersenyum bersama saat kelulusan SMP. Aku rindu senyumannya yang lepas seperti itu. Sebelum bertemu dengan ‘orang itu’ senyumannya selalu seperti itu, namun semenjak ‘orang itu’ hadir dalam hidupnya entahlah. Senyuman itu seolah lenyap.
                “You are the only want I want, you are the only one I love
                Handphoneku tiba – tiba berbunyi. Aku lalu mengalihkan perhatianku dari bingkai foto itu dan mulai mencari hanphoneku yang sepertinya lupa aku letakkan dimana. Dengan menajamkan pendengaran akhirnya aku berhasil menemukan handphoneku yang ternyata terselip dibawah bantalku. Aku melihat nama seseorang yang menelponku malam ini di display handphone. Aku terpaku sejenak lalu dengan cepat mengangkatnya.
                “Yeoboseyo. Ada apa? Malam ini? Baiklah. Aku akan segera kesana.”
                Aku menutup teleponku. Dengan segera aku bangkit, mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu. Lalu dengan langkah lebar aku segera melesat ke tempatnya untuk menyusulnya. Aku bahkan tak perduli dengan turunnya salju malam ini. Dia menungguku.


@@@@@

                Dia menoleh dan tersenyum padaku begitu melihatku tiba ke tempat dia menantiku.
                “Akhirnya kau datang.” Ujarnya sambil tersenyum samar.
                Aku hanya balas tersenyum dan mengangguk. Aku mendekatinya yang sudah berada di taman itu entah berapa lama. Aku  lalu duduk di samping ayunan yang sedang dia duduki. Aku menatapnya. Dia hanya menunduk sambil mengayun – ayunkan ayunannya pelan. Tak ada sahutan yang keluar. Dia ataupun aku sama – sama diam. Terlalu larut dalam pikiran masing – masing. Aku menghela nafas kemudian menatap langit malam yang sudah dijatuhin oleh gumpalan - gumpalan putih dingin itu.
                “Saat kita pulang sekolah tadi, Injun menelponku.” Ucapnya dengan suara serak.
Akhirnya dia mau membuka mulutnya setelah sedari tadi hanya diam saja.
“Dia mengatakan bahwa dia melihat Hyunmin berjalan bersama Min Ri ke karaoke sambil berpegangan tangan.”
Mendadak rahangku mengeras begitu mendengarnya. Rasanya aku benar – benar muak. Ini memang bukan yang pertama kalinnya aku mendengar dia mengadu tentang ‘namjachingu’ sialannya itu. Ini sudah beberapa kali. Namun rasanya rasa jengkelku terhadapnya sudah diambang batas.
“Aku tak percaya apa yang telah dia katakan padaku. Jadi aku pergi untuk memastikannya.”
Dia berhenti sejenak. Memejamkan matanya dan menghela nafas berat.
“Saat aku pergi ketempat itu kulihat dia sedang berciuman dengan Min Ri. Dia menyadari kedatanganku. Dia lalu menghampiriku dan menatapku dingin.”
“Lalu?” Tanyaku dengan emosi yang tertahan.
“Dia mengatakan, ‘Kau sudah melihatnya khan? Aku sudah tidak menyayangimu lagi. Jadi putuskan hubungan kita sekarang.’ Itu yang dia bilang.”
“Terus, kau memutuskannya?”
Tak ada jawaban atas pertanyaanku. Dia menundukkan kepalanya, menggenggam rantai ayunan kuat dan mengayunkan ayunan yang dinaikinya tanpa minat.
“Jangan bilang kalau kau tidak memutuskan hubunganmu dengannya.”
Tebakku yang sontak membuat dia menatapku dengan wajah terkejut.
“Sial.”
Aku bangkit dari ayunanku. Tanganku bergetar dan terkepal menahan amarah.
“Aku menyayanginya. Aku menyayangi Woo Hyunmin. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Dia cinta pertamaku. Jika aku berpisah dengannya itu berarti aku tidak bisa bertemu lagi dengannya.”
Dia berkata dengan cepat dan bersuara serak menahan tangis. Aku menoleh padanya. Mendekatinya dan berjongkok dihadapnya. Bisa – bisanya dia mengatakan hal gila itu dihadapanku. Tak sadarkah dia bahwa orang yang sedang berada dihapannya ini begitu tulus mencintainya? Tak pernahkah dia sadar bahwa perasaan ini selalu ada untuknya? Rasanya aku benat – benar ingin merebutmu darinya. Rasanya aku sungguh tak sanggup melihat dia menangis dan bersedih hanya gara – gara namja brengsek itu. Aku sungguh tak sanggup.
“Kenapa? Kenapa kau begitu mencintainya? Kau bahkan sudah tau betapa brengseknya dia khan? Tapi kenapa?” Suaraku mendadak tercekat, rasanya aku sungguh tak sanggup.
“Aku mencintainya. Dan aku yakin apa yang tadi dia lakukan hanya sebatas main – main saja seperti yang lain.”
Main – main? Menggelikan sekali. Dia bahkan masih saja bisa menutupi dosa namja brengseknya itu kepadaku.
“Aku sudah merepotkanmu selama ini dengan semua keluhanku. Maafkan aku. Tolong aku, jangan kau salahkan sepenuhnya padanya. Ini salahku karena tak bisa menjadi sosok seorang yeoja yang dia inginkan.”
Aku diam untuk kesekkian kalinya. Pikiranku sudah dipenuhi dengan namja sialan itu. Rahangku sudah mengeras menahan amarahku. Aku lalu menatapnya. Menatap wajah cantik itu yang kini terlihat begitu pucat dan gusar. Aku meraba wajahnya yang kontan membuatnya juga menatapku. Menatap tepat ke mataku. Ada hawa beku saat kusentuh wajah itu.
“Sudah berapa lama kau tadi disini?” Tanyaku tanpa memperdulikan perkataannya tadi.
“Entahlah. Aku tidak sadar sudah berapa lama aku di tempat ini.” Jawabnya yang sekarang sudah menunduk untuk menghindari tatap mata denganku.
Aku mengelus pipinya lembut, lalu kuangkat wajahnya yang menunduk dengan mengangkat dagunya. Sekarang tatapan kami bertemu untuk kesekian kali.
“Apa kau ingin menangis?”
Tak ada sahutan darinya. Dia hanya diam dan membalas tatapanku. Aku mendekati wajahnya lebih dekat lagi. Hingga aku bisa merasakan embun yang mengepul dari desahan nafasnya. Entah setan apa yang merasukiku, aku secara perlahan demi perlahan semakin mendekati wajahnya . Tanpa sadar mataku terpejam dan bibirku sudah menyentuh bibir miliknya. Ada sensasi tersendiri yang kurasakan. Entah perasaanku benar atau tidak, ternyata dia membalas ciumanku lembut. Aku begitu terhanyut akan hal itu. Rasanya salju yang dingin pun seolah menjadi menghangat.
                “KIM SUNG RI..!!”
                Teriakan itu menghentikanku dan mendadak aku menjauhkan wajahku darinya. Aku melihat ke arah suara itu. Suara yang begitu familiar ditelingaku dan yang pasti ditelinganya juga. Dan ternyata tebakanku benar. Woo Hyunmin melihat aku dan dia berciuman. Dan kulihat wajahnya mendadak merah menahan amarah. Tangannya terkepal. Dia mendekati kami berdua yang masih diam terpaku melihat kedatangannya.
                “BUKKK…!!!”
                Sebuah pukulan telak mendarat di pipiku yang kontan membuatku langsung tersungkur. Aku bisa merasakan cairan kental merah mengalir dari sudut bibirku. Dia mendekatiku. Menarik kerah bajuku dan menghajarku dengan membabi buta. Sedangkan aku? Hanya diam menerima pukulan demi pukulan yang dia berikan padaku.
                “Hyunmin-ah, STOP..!!” Teriaknya panic dan menarik jaket Hyunmin dari belakang. Namun Hyunmin tidak mengindahkannya dan malah berusaha melepas tarikannya dengan menyikutnya dari belakang yang langsung membuat dia terjatuh.
                Aku yang melihatnya dari sebelah mataku langsung bereaksi cepat. Dengan sisa tenagaku tanpa sadar aku memukul perut Hyunmin dengan keras dan membuatnya juga jatuh tersungkur. Aku bangkit dengan susah payah. Kulihat Hyunmin mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya.
                “Sudah lama aku ingin melakukan ini padamu. Aku sudah cukup bersabar akan perlakuanmu. Aku tak mempermasalahkan kau memukulku hingga aku mati. Silahkan kau lakukan. Tapi jika sekali saja kau menyentuhnya maka bisa jamin aku akan membunuhmu.”
                Aku mengancamnya dengan tegas. Aku serius mengatakan hal itu padanya. Dengan kepala berdenyut dan semua badan yang terasa remuk aku mendekatinya. Mendekati Sung Ri.
                “Gwe, gwenchana?” Ujarku dengan nada serak.
Aku mengulurkan tanganku bermaksud untuk membantunya berdiri. Namun Sung Ri malah bergeming. Dia hanya terduduk lemas dengan kaki yang bergetar. Aku berjongkok, dengan susah payah aku membuatnya melihatku. Dia menatapku dengan linangan air matanya, hatiku terasa sangat sakit. Bahkan jauh lebih sakit dari semua pukulan yang aku terima dari namja brengsek itu.
“Mianhae.. aku begitu lancang padamu. Seharusnya aku tak melakukan hal gila seperti tadi.”
Dia menggeleng dan tersenyum samar padaku.
“Gwenchana. Mungkin tadi terbawa situasi, makanya kau lakukan itu khan?”
Bibirku bergetar, aku mengepalkan tanganku. Terbawa situasi? Aku lakukan secara sadar. Dengan susah payah aku membalas senyumannya. Walau sebenarnya aku bahkan tak ingin melakukan itu.
Aku lalu membantunya berdiri, setelah berhasil dia langsung mendekati Hyunmin yang masih terbaring itu. Cih, dia masih memperdulikan namja sialan itu.
“Hyunmin-ah, gwaenchanayo?” Tanyanya khawatir.
Hyunmin tak menjawab, dia masih sibuk memperhatikan awal hitam yang sudah menurunkan salju – salju itu. Entah aku tak tau apa yang sedang ada dipikirannya. Aku harap dia secara sadar mau meninggalkan Sung Ri dan memutuskan hubungan itu secepatnya. Aku memang berharap hal itu. Aku tak perduli tentang pandangan orang lain. Tapi jika dia tidak melakukan itu, maka aku akan berusaha merebut Sung Ri dari dirinya.
“Sung Ri-ah, kau mencintaiku?” Tanyanya tanpa sedikitpun menatap Sung Ri yang setengah terkejut mendengar pertanyaan Hyunmin.
Aku juga begitu. Reaksiku sama seperti reaksi Sung Ri. Namun aku harus tetap tenang. Kulakukan ini semua demi Sung Ri. Hanya semi dia seorang.
Kulihat Sung Ri mengangguk perlahan pada Hyunmin.
“Ne, Saranghanda.”
“Bahkan meski aku sudah menyakitimu berulang kali?”
“Ne.”
“Lalu, apa kau mencintainya?”
Pertanyaan yang membuat mataku melebar begitu mendengarnya. Dia menatap dan menunjuk ke arahku. Apa yang ada dipikiran namja brengsek itu?
Sung Ri menatapku dalam. Entahlah apa yang sedang ada di dalam pikirannya mengenaiku saat ini. Mungkin saat ini dia sedang mencari tau pentingkah aku didalam hidupnya. Andai saja aku bisa membaca pikirannya. Andai saja, namun hal seperti itu bahkan mustahil bagiku.
“Dia.. dia..”
Sung Ri masih menatapku, katanya – katanya menggantung dan terlihat begitu ragu. Dengan mata yang sedikit kabur aku bisa melihat wajah yang dipenuhi dengan kebingungan itu. Aku menghembuskan nafas perlahan. Kurasakan buliran dingin menyentuh wajahku yang memar. Aku lalu menatap Sung Ri lemah.
“Tak perlu kau jawab Sung Ri-ah jika kau tak bisa menjawabnya. Jangan memaksakan hatimu untuk melakukannya.”
Aku tersenyum samar dan berjalan dengan langkah berat. Kulihat Hyunmin sedang terduduk di samping Sung Ri, menatapku dengan wajah tak sukanya. Aku tersenyum sinis padamu.
“Sung Ri, mungkin sekarang hatimu sudah tertutupi olehnya. Aku tau. Tapi suatu saat sedikit demi sedikit hatimu itu akan memberontak dan membukanya untuk sebuah kenyataan yang ada. Di saat hatimu melakukan itu, bahkan saat seperti apapun aku tidak akan pergi. Aku akan selalu disini menunggumu dan akan melindungimu.”
Sung Ri melihatku dengan ekspresi yang sulit aku tebak. Aku tak perduli. Bahkan kejadian tadi sama sekali tak kusesali. Rasanya jika itu adalah sebuah mimpi maka aku tidak ingin terbangun lagi. Aku tak menginginkannya sama sekali.
Aku tersenyum samar pada Sung Ri, kulangkahkan kakiku berat menjauh dari mereka. Biarlah seperti ini dulu. Kali ini kubiarkan hal seperti ini terulang lagi. Walau terasa begitu menyakitkan tapi kuyakin suatu saat dia akan mengerti bahwa keberadaanku tak hanya lebih dari sekedar teman biasa. Dan jika hal seperti itu terulang kembali lagi, maka aku bersumpah aku akan merebutmu darinya.
Bahkan kalaupun bisa, aku ingin merebutmu  saat ini juga.
‘I want to snatch away right now.’

THE END
               
               
               
               

0 comments:

Posting Komentar