Jumat, 06 Januari 2017

, ,

[Resensi Buku] Persona oleh Fakhrisina Amalia






Identitas Buku
Judul Buku          : Persona
Penulis                 : Fakhrisina Amalia
Penyunting         : Tri Saputra Sakti
Desain Sampul  : Orkha Creative
Tebal Halaman  : 248 Halaman
Penerbit              : PT. Gramedia Pustaka Utama

Sinopsis
Namanya Altair, seperti salah satu bintang terang di rasi Aquila yang membentuk segitiga musim panas. Azura mengenalnya di sekolah sebagai murid baru blasteran Jepang yang kesulitan menyebut huruf L pada namanya sendiri.
Azura merasa hidupnya yang berantakan perlahan membaik dengan kehadiran Altair. Keberadaan Altair lambat laun membuat perasaan Azura terhadap kak Nara yang sudah lama dipendam pun luntur.
Namun, saat dia mulai jatuh cinta pada Altair, cowok itu justru menghilang tanpa kabar. Bukan hanya kehilangan Altair, Azura juga harus menghadapi kenyataan bahwa orangtuanya memiliki banyak rahasia, yang mulai terungkap satu demi satu. Dan pada saat itu, Kak Nara-lah tempat Azura berlindung.
Ketika Azura merasa kehidupannya mulai berjalan normal, Altair kembali lagi. Dan kali ini Azura dihadapkan pada kenyataan untuk memilih antara Altair dan Kak Nara.

Ulasan.
Novel ini bercerita tentang Azura, seorang anak SMA biasa-biasa saja yang penyendiri dan tidak memiliki teman sama sekali selama hidupnya karena dia terbiasa menjaga jarak dari kehidupan sosial. Tidak ada yang tau jika kehidupannya tidak biasa-biasa saja saat berada di dalam rumah. Karena sering mendengar pertengkaran kedua orang tuanya dan tidak tau bagaimana caranya meluapkan emosi dan perasaannya akibat pertengkaran mereka akhirnya dia selalu memiliki kebiasaan untuk melampiaskannya dengan cara menyayat lengan kirinya sendiri dengan cutter, maka tak heran jika ada beberapa bekas sayatan di lengannya.

Kehidupan Azura sedikit berubah saat dia berteman dengan Altair yang merupakan siswa baru di sekolahnya. Meski awalnya Azura tidak menyambut baik kehadiran Altair, namun lambat laun Azura merasa kehadiran Altair membuatnya merasa tidak sendirian lagi, dia bahkan tidak menyayat lengannya lagi sejak bertemu Altair. Azura sampai rela membuat bekal berlebih demi bisa membagikannya dengan Altair. Altair menjanjikan bahwa dia akan selalu ada untuk Azura yang membuatnya memberikan harapan pada kehidupannya yang berantakan. Kepada Altair-lah Azura menceritakan seluruh keluh kesahnya, tentang keluarganya juga tentang Kak Nara, kakak kelas yang selama setahun belakangan ini menjadi perhatiannya dan membuatnya memiliki kebiasaan untuk melihatnya bermain sepak bola dari balik kaca jendela perpustakaan saat jam istirahat.

Ketika Azura memilih untuk bersama Altair setelah mengakui perasaannya sendiri, tiba-tiba Altair menghilang. Dia tidak bisa dihubungi dan bahkan sekolah seolah merasa tidak kehilangan sosok seorang Altair, Azura kembali kehilangan semangat hidupnya. Namun seiring berjalannya waktu dia perlahan menata kehidupannya lagi meski tidak dapat dipungkiri dia masih memikirkan sosok Altair. Menginjak bangku kuliah Azura bertemu dengan Yara-- seorang perempuan enerjik jurusan arsitektur yang pada akhirnya menjadi teman perempuan pertamanya sekaligus sahabatnya. Kehidupan Azura perlahan semakin membaik setelah mengenal Yara, ditambah lagi tanpa disangka Abang yang selama ini sering Yara ceritakan ternyata adalah Kak Nara. Azura semakin dekat dengan Kak Nara juga dengan seluruh keluarga Yara.

Hingga suatu ketika Altair kembali di kehidupan Azura setelah sekian lama menghilang. Kembalinya Altair membawa berbagai teka – teki yang membuat hidup Azura menjadi rumit.

++++

Sebenarnya gak sengaja masuk list buku yang dibeli karena ngeliat review dari instagram hingga akhirnya iseng buka Goodreads buat nyari tau lebih banyak tentang buku ini. Dan setelah membelinya butuh waktu beberapa hari untuk bisa menyelesaikan buku ini, entah kenapa. Hati saya ikutan tersayat saat melihat adegan Azura sang tokoh utama dalam cerita yang menyayat lengan kirinya menggunakan cutter untuk melampiaskan rasa sakit pada hatinya ketika kedua orangtuanya bertengkar. Seolah saya sendiri juga ikut mengalami betapa perihnya rasa sakit yang dialami oleh Azura.

Rasa perih itu biasanya membantuku menghilangkan semua rasa sesak yang muncul. Biasanya, rasa perih itu yang kucari agar perasaan tidak menyenangkan di hatiku pindah. Itu yang bisa kulakukan, memindahkan rasa sakit di hati menjadi rasa sakit yang lebih nyata—menjadi rasa sakit fisik.” (hal. 14)

Awal cerita saya merasa cerita Persona terkesan biasa-biasa saja, bahkan saya sempat berhenti beberapa lama sebelum akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan baca. Saya sangat suka gaya bahasa yang dbawakan oleh penulisannya meskipun ini buku pertama yang saya baca dari penulis, penuturan yang disampaikan rinci dan terkesan luwes, dan alurnya yang rapi sampai saya tidak sadar selama membaca bahwa terdapat plot twist didalamnya. Sebenarnya secara sadar penulis sendiri memberikan beberapa petunjuk mengenai arah cerita yang akan dibawanya, namun karena saya terlalu hanyut dalam cerita dan terlalu fokus dengan sudut pandang dari sang tokoh utama saya melewatkan beberapa petunjuk tersebut. Tidak terlihat plot cerita yang kosong karena semuanya sudah dijelaskan satu-persatu dengan runtut dan tidak mengganggu jalannya cerita.

Saya merasa berkaca pada diri saya sendiri saat berkenalan dengan Azura, si tokoh utama. Jujur saja saya pernah memiliki sesuatu hal yang sama dengan Azura namun dalam tahap yang tidak berlebihan, makanya tidak mengherankan jika ada beberapa hal yang mendasari kesamaan saya dengan tokoh utama. Saya suka persahabatan antara Azura dan Nayara yang memiliki kepribadian bertolak belakang dengannya, bahkan dalam keadaan seperti apapun Yara akan selalu membuka tangannya lebar-lebar untuk Azura.

“Kata orang, seringkali kita bersahabat dengan seseorang tanpa tahu kapan persahabatan itu dimulai. Tiba-tiba sudah bersahabat, tiba-tiba sudah begitu dekat. Tapi saat menjabat tangan Nayara hari itu, saat melihat senyumnya, dan binary-binar di sepasang matanya, aku seolah mengalami momen klik. Saat itu aku seolah diberi keterampilan untuk melihat masa depan, dan masa depan itu aku dan Nayara menjadi dua orang yang bersahabat.” (hal. 132)

“karena sesuatu itu yang bikin kamu ‘hidup’. Sesuatu yang bisa kamu sebut passion. Sesuatu yang bikin jiwa kamu penuh, hati kamu penuh, yang selalu ada buat kamu kapanpun kamu mau. Aku kasih tau ya, Azura. Passion itu kadang lebih powerful daripada cinta. Yah, mungkin berlebihan, tapi seenggaknya passion nggak bakalan mengkhianati dan meninggalkan kamu. Passion juga bakal bilang dia sudah nggak jatuh cinta sama kamu lagi.” (hal. 136)

“Jangan menahan dirimu sendiri untuk melakukan sesuatu karena aku atau siapapun, Azura-chan. Aku, bahkan siapapun, tidak ada yang benar-benar akan bersamamu selamanya. Jadi jangan berhenti melakukan sesuatu yang ingin kau lakukan hanya karena orang lain. Kau harus hidup untuk dirimu sendiri. Jadi, saat aku pergi, atau saat orang lain pergi, kau tidak akan merasa kehilangan dirimu sepenuhnya. Kau akan tetap berbahagia.” (hal. 188)

Saya juga menyukai tokoh kak Nara yang pada awalnya seperti tokoh pendukung namun seiring berjalannya cerita dia menjadi tokoh yang sangat penting dan terlihat lebih matang dalam menyikapi segala hal. Terlebih dengan segala hal pengorbanan yang telah dia lakukan demi Azura.

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin saya bahas dalam buku ini, namun mengingat akan menimbulkan banyak spoiler yang bertebaran s
epertinya saya harus bisa menahan diri. Buku ini memberikan banyak pelajaran yang bisa diambil, terutama untuk para remaja. Oh iya, epilog dalam cerita ini benar-benar membuat saya heboh setelah menutup bukunya.

Akhir kata, saya menikmati buku ini dan tentu saja penulis benar-benar memberikan kesan yang bagus terhadap saya selaku pembaca yang tentu saja ingin mencoba membaca karya-karya lain miliknya. Lima Bintang untuk buku yang kece ini J

“Semua pasti berlalu. Suatu hari nanti kau akan tiba pada suatu titik dimana kau akan bangga pada dirimu hari ini, Azura-chan. Jadi kuatlah.” (Hal. 187)





Continue reading [Resensi Buku] Persona oleh Fakhrisina Amalia