Senin, 06 Mei 2019

[Catatan] Surat Rinduku Untukmu (Sebuah Surat Untuk Nenek Tercinta)




Kamar dengan ranjang kayu yang memiliki ukiran khas itu kini lengang, bahkan kasur kapuk yang selalu menjadi tempat untuk beristirahat itu seperti sudah kehilangan penghuni. Aku menatap sendu setiap kali membuka tirai jendela dan mematikan lampu kamar di pagi hari, kenangannya masih terasa hangat. Sudah sebulan semenjak kepergian seorang wanita yang selalu menjadi malaikat pelindungku. Rumah yang biasa penuh dengan makanan dan barang-barang yang entah itu berguna atau tidak sedikit demi sedikit mulai berkurang. Televisi yang biasanya menyala meski tidak ditonton dibiarkan begitu saja.

Ada rasa rindu yang menelusup, ada rasa penyesalan karena aku bahkan tidak bisa menjadi seseorang yang mampu menjaga dan terkadang membangkang perkataannya. Mimpi buruk sebulan yang lalu di rumah sakit malam akan selalu kuingat. Nafasmu yang terengah-engah dengan selang oksigen di hidungmu, air matamu yang menetes saat aku bahkan orang-orang di dalam sana tidak hentinya bersalawat dan meminta kepada sang pencipta untuk kesembuhanmu. Ketakutan itu begitu jelas menggerogoti akal sehatku, takut bahwa aku tak bisa melihatmu lagi keesokan harinya. Kamar rawat layaknya medan perang baginya, tanganku bergetar saat menekan dadanya berulang kali sembari mengucapkan kalimatNya, memohon berulang kali untuk bernafas dengan teratur, untuk berpikir tenang dan tak perlu memikirkan apapun.

Pada dini hari, ketakutanku terjadi kala adikku tiba-tiba saja membangunkanku saat kami bergantian untuk berjaga. Mengatakan dengan suara bergetar bahwa perut beliau tidak bergerak naik turun layaknya orang bernafas. Aku langsung terjaga, rasa kantukku menghilang begitu saja. Aku mencoba untuk menyentuh nadinya dan juga mencoba mendengar deru nafasnya, berusaha berpikir positif bahwa aku masih bisa mendengar suara nafas beliau meski sesungguhnya aku menyadari itu adalah suara selang. Adikku tetap tidak mempercayai pernyataanku hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk keluar memanggil perawat yang berjaga.

Perawat yang pada awalnya tampak begitu tenang saat masuk dan memeriksa tiba-tiba terlihat begitu panik, bahkan tabung oksigen pun rencananya akan ditambah lagi. Namun saat mereka memanggil dokter jaga segalanya terlihat jelas, ketakutanku menjadi. Air mataku mengalir, merutuk diriku sendiri karena tertidur. Ibuku dengan tenang menghubungi keluarga kami yang ada di luar kota dan juga beberapa saudara lainnya. Mengatakan bahwa Ibu mereka sudah tiada, tolong didoakan dan meminta untuk tenang. Hatiku sembilu saat wajah beliau ditutup oleh kain, berharap segalanya adalah sebuah kebohongan seperti tanggal ketiadaan beliau saat itu.

Malam yang sunyi begitu mencekam saat sirine ambulans membawaku dan juga jenazah beliau ke rumah tempat kami biasa menghabiskan waktu. Aku menahan air mataku dengan kuat, berusaha untuk tidak menangis lagi, namun aku bisa apa? Nafasku sesak, dadaku sakit. Sudah lama sekali aku tidak merasakan gejala panikku lagi dan sekarang itu datang lagi dengan kondisiku yang seperti ini. Adikku dengan cepat memintaku untuk meminum sisa obat yang dulu pernah dokter resepkan padaku, aku mulai sedikit tenang walau tidak sepenuhnya bisa.

Keluargaku dari luar kota datang menjelang subuh tiba, mereka langsung menghambur pada jenazah beliau yang sudah terbujur kaku di ruang tengah, tangis meraung, dan begitu banyak kata-kata yang diucap menanyakan banyak hal. Mereka memeluk kami, saling memberikan kekuatan satu sama lain. Lantunan ayat suci Al-Qur’an diperdengarkan tak henti-hentinya oleh kami, karena sejatinya hanya itu lah yang bisa kami lakukan untuk beliau saat ini. Saat memandikan jenazah dan memakamkan beliau tangis kembali pecah, seolah tidak rela untuk ditinggal pergi. Namun kami berusaha ikhlas, akupun juga begitu demi kebahagiaan beliau dan ketenangan beliau saat menghadapNya.

Hari terberat yang harus kujalani adalah saat sudah melewati 7 hari kepergian beliau. Rumah benar-benar terasa sunyi dan hanya menyisakan aku dan juga ibuku. Tidak ada lagi meja ruang tengah yang dipenuhi dengan buah dan makanan ringan lainnya yang bahkan tidak tau kapan tidak tersentuh, tidak ada lagi kulkas yang penuh dengan makanan dan bahan-bahan memasak lainnya, tidak ada lagi  sosok yang selalu tiba-tiba membuka pintu kamar untuk memeriksa apakah penghuni di dalamnya tertidur atau masih terjaga, tidak ada lagi sosok yang akan selalu mengupasi buah dan meletakkannya begitu saja di meja kamar untuk kumakan, tidak ada omelan-omelan berisik yang terkadang membuatku jengah, tidak ada lagi yang akan melepaskan kacamata dan mematikan tv kamar saat aku terlelap tidur, tidak ada lagi yang membangunkan aku subuh tanpa henti sampai aku benar-benar bangun dengan kondisi sebal, dan tidak ada lagi sosok pelindung yang akan selalu membelaku dan mengkhawatirkanku saat aku tidak pulang dan pergi seorang diri ke suatu tempat.

Aku rindu... iya aku rindu padamu nek... hingga aku tidak sadar air mataku jatuh begitu saja saat aku menulis surat ini untukmu.

Aku pikir sekarang engkau sudah bahagia disana, penderitaanmu menahan sakit selama ini sirna sudah, Allah sudah mengangkat semuanya dan menempatkanmu di tempat yang terbaik saat ini.
Tolong maafkan segala kesalahanku, tolong maafkan segala ego yang terkadang menyakitimu.

Maafkan aku yang masih belum memberikan sosok lelaki yang akan menjadi pendampingku kelak, aku tau engkau begitu menginginkannya. Maaf.. maaf.. beribu kali maaf. Kelak saat aku menemukan sosok itu aku akan memperkenalkannya padamu dengan benar, mohon tunggu dan bersabarlah.
Nek, apa bapak disana juga baik-baik saja?

Tolong sampaikan rinduku juga untuknya.
Bahagia di surga Allah yah, Nek.
Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Aku sayang nenek J



Dari cucumu yang selalu membangkang,
06/05/2019
Farida Mutia

Continue reading [Catatan] Surat Rinduku Untukmu (Sebuah Surat Untuk Nenek Tercinta)