Kamar dengan ranjang kayu yang
memiliki ukiran khas itu kini lengang, bahkan kasur kapuk yang selalu menjadi
tempat untuk beristirahat itu seperti sudah kehilangan penghuni. Aku menatap
sendu setiap kali membuka tirai jendela dan mematikan lampu kamar di pagi hari,
kenangannya masih terasa hangat. Sudah sebulan semenjak kepergian seorang
wanita yang selalu menjadi malaikat pelindungku. Rumah yang biasa penuh dengan
makanan dan barang-barang yang entah itu berguna atau tidak sedikit demi
sedikit mulai berkurang. Televisi yang biasanya menyala meski tidak ditonton
dibiarkan begitu saja.
Ada rasa rindu yang menelusup,
ada rasa penyesalan karena aku bahkan tidak bisa menjadi seseorang yang mampu
menjaga dan terkadang membangkang perkataannya. Mimpi buruk sebulan yang lalu
di rumah sakit malam akan selalu kuingat. Nafasmu yang terengah-engah dengan
selang oksigen di hidungmu, air matamu yang menetes saat aku bahkan orang-orang
di dalam sana tidak hentinya bersalawat dan meminta kepada sang pencipta untuk
kesembuhanmu. Ketakutan itu begitu jelas menggerogoti akal sehatku, takut bahwa
aku tak bisa melihatmu lagi keesokan harinya. Kamar rawat layaknya medan perang
baginya, tanganku bergetar saat menekan dadanya berulang kali sembari
mengucapkan kalimatNya, memohon berulang kali untuk bernafas dengan teratur,
untuk berpikir tenang dan tak perlu memikirkan apapun.
Pada dini hari, ketakutanku
terjadi kala adikku tiba-tiba saja membangunkanku saat kami bergantian untuk
berjaga. Mengatakan dengan suara bergetar bahwa perut beliau tidak bergerak
naik turun layaknya orang bernafas. Aku langsung terjaga, rasa kantukku
menghilang begitu saja. Aku mencoba untuk menyentuh nadinya dan juga mencoba
mendengar deru nafasnya, berusaha berpikir positif bahwa aku masih bisa mendengar
suara nafas beliau meski sesungguhnya aku menyadari itu adalah suara selang.
Adikku tetap tidak mempercayai pernyataanku hingga pada akhirnya kami
memutuskan untuk keluar memanggil perawat yang berjaga.
Perawat yang pada awalnya tampak
begitu tenang saat masuk dan memeriksa tiba-tiba terlihat begitu panik, bahkan
tabung oksigen pun rencananya akan ditambah lagi. Namun saat mereka memanggil
dokter jaga segalanya terlihat jelas, ketakutanku menjadi. Air mataku mengalir,
merutuk diriku sendiri karena tertidur. Ibuku dengan tenang menghubungi
keluarga kami yang ada di luar kota dan juga beberapa saudara lainnya.
Mengatakan bahwa Ibu mereka sudah tiada, tolong didoakan dan meminta untuk
tenang. Hatiku sembilu saat wajah beliau ditutup oleh kain, berharap segalanya
adalah sebuah kebohongan seperti tanggal ketiadaan beliau saat itu.
Malam yang sunyi begitu mencekam
saat sirine ambulans membawaku dan juga jenazah beliau ke rumah tempat kami
biasa menghabiskan waktu. Aku menahan air mataku dengan kuat, berusaha untuk
tidak menangis lagi, namun aku bisa apa? Nafasku sesak, dadaku sakit. Sudah
lama sekali aku tidak merasakan gejala panikku lagi dan sekarang itu datang
lagi dengan kondisiku yang seperti ini. Adikku dengan cepat memintaku untuk
meminum sisa obat yang dulu pernah dokter resepkan padaku, aku mulai sedikit
tenang walau tidak sepenuhnya bisa.
Keluargaku dari luar kota datang
menjelang subuh tiba, mereka langsung menghambur pada jenazah beliau yang sudah
terbujur kaku di ruang tengah, tangis meraung, dan begitu banyak kata-kata yang
diucap menanyakan banyak hal. Mereka memeluk kami, saling memberikan kekuatan
satu sama lain. Lantunan ayat suci Al-Qur’an diperdengarkan tak henti-hentinya
oleh kami, karena sejatinya hanya itu lah yang bisa kami lakukan untuk beliau
saat ini. Saat memandikan jenazah dan memakamkan beliau tangis kembali pecah,
seolah tidak rela untuk ditinggal pergi. Namun kami berusaha ikhlas, akupun
juga begitu demi kebahagiaan beliau dan ketenangan beliau saat menghadapNya.
Hari terberat yang harus kujalani
adalah saat sudah melewati 7 hari kepergian beliau. Rumah benar-benar terasa
sunyi dan hanya menyisakan aku dan juga ibuku. Tidak ada lagi meja ruang tengah
yang dipenuhi dengan buah dan makanan ringan lainnya yang bahkan tidak tau
kapan tidak tersentuh, tidak ada lagi kulkas yang penuh dengan makanan dan
bahan-bahan memasak lainnya, tidak ada lagi
sosok yang selalu tiba-tiba membuka pintu kamar untuk memeriksa apakah
penghuni di dalamnya tertidur atau masih terjaga, tidak ada lagi sosok yang
akan selalu mengupasi buah dan meletakkannya begitu saja di meja kamar untuk
kumakan, tidak ada omelan-omelan berisik yang terkadang membuatku jengah, tidak
ada lagi yang akan melepaskan kacamata dan mematikan tv kamar saat aku terlelap
tidur, tidak ada lagi yang membangunkan aku subuh tanpa henti sampai aku
benar-benar bangun dengan kondisi sebal, dan tidak ada lagi sosok pelindung
yang akan selalu membelaku dan mengkhawatirkanku saat aku tidak pulang dan
pergi seorang diri ke suatu tempat.
Aku rindu... iya aku rindu padamu
nek... hingga aku tidak sadar air mataku jatuh begitu saja saat aku menulis
surat ini untukmu.
Aku pikir sekarang engkau sudah
bahagia disana, penderitaanmu menahan sakit selama ini sirna sudah, Allah sudah
mengangkat semuanya dan menempatkanmu di tempat yang terbaik saat ini.
Tolong maafkan segala
kesalahanku, tolong maafkan segala ego yang terkadang menyakitimu.
Maafkan aku yang masih belum
memberikan sosok lelaki yang akan menjadi pendampingku kelak, aku tau engkau
begitu menginginkannya. Maaf.. maaf.. beribu kali maaf. Kelak saat aku
menemukan sosok itu aku akan memperkenalkannya padamu dengan benar, mohon
tunggu dan bersabarlah.
Nek, apa bapak disana juga baik-baik
saja?
Tolong sampaikan rinduku juga
untuknya.
Bahagia di surga Allah yah, Nek.
Suatu saat kita pasti akan
bertemu lagi. Aku sayang nenek J
Dari cucumu yang selalu
membangkang,
06/05/2019
Farida Mutia
0 comments:
Posting Komentar