Apa kalian punya sebuah kenangan dengan seseorang?? Bukankah semua orang memiliki kenangan, aku juga punya. Kenangan yang tak mungkin kulupakan. Kenangan yang dulu membuatku menyesal hingga kini. Kenanganku dengannya. Saat aku mencoba untuk menghilangkan kenangan itu dariku, dia muncul tanpa sempat kusadari.
20 Januari 2010, Musim hujan.
Aku menatap hampa jalanan basah yang diguyur hujan lebat dari jendela café. Sudah tiga puluh menit aku berada disini. Terperangkap dalam ruangan yang dipenuhi oleh orang – orang yang berteduh didalamnya. “Hujan.” Bisikku pelan. Aku menghembuskan nafas pelan, sesekali ku minum segelas teh hijau hangat yang tersedia di mejaku.
Tiba – tiba seorang cowok memasuki café dengan badan yang basah kuyup. Banyak orang yang memperhatikan kedatangannya, namun aku tak peduli dengan hal itu. Aku malah menatap sambil melamun kearah luar jendela.
“Permisi, bolehkah aku duduk disini?” Pinta cowok itu.
Sejenak aku tak bergeming dengan ucapannya, aku masih asyik dengan lamunanku yang mengembara entah kemana.
“Maaf, Mbak Bolehkah saya duduk disini.” Dia mendekatkan mukanya supaya aku bisa mendengar apa yang dia ucapkan. Sepertinya dia menyadari kalau aku sedang melamun.
Lamunanku buyar ketika dia memanggilku untuk kedua kalinya. Aku menoleh kearah sumber suara itu. Dan kudapati sesosok orang yang (sepertinya) pernah aku kenal.
“Lando.” Kataku spontan begitu kulihat wajah yang sangat familiar itu. Seketika keringat dingin keluar dari tanganku, jantungku juga berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya.
“Luna.” Kata cowok itu kaget saat aku menoleh kearahnya.
Lando namanya, dia adalah kenangan yang ingin aku lupakan. Cowok yang selama ini membuatku menyesal sampai saat ini. Dia hadir kembali, disini. Saat hujan membasahi semuanya.
“Hai Luna.” Lando tersenyum padaku. “Lama tak berjumpa.”
“Hai juga Lan.” Aku membalas senyuman Lando, kaku. “Duduklah.” Aku mempersilahkan Lando duduk berhadapan denganku.
“Thank’s.” Lando segera duduk tepat menghadap padaku. Dia membuka tasnya yang basah dan mengambil handuk kecil dari dalam. Lando mengeringkan rambutnya yang basah kuyup di guyur hujan dengan handuk itu.
Sesekali aku memperhatikannya. Dia berbeda. Batinku dalam hati. Dia sekarang bukanlah Lando yang ku kenal 6 tahun yang lalu. Lando yang berseragam SMP dengan celana birunya. Di hadapanku ada Lando yang berusia matang dan sudah dewasa.
“Ada apa denganku??” Tanya Lando polos setelah dia mengeringkan rambutnya. Sepertinya dia sadar kalau sedang diperhatikan olehku. “Apa ada yang aneh??” Tanyanya lagi.
“Err, tidak kok.” Jawabku serba salah. “Kau sekarang berbeda.”
Lando diam mendengar pernyataan dariku. Kemudian dia menyandarkan bahunya pada kursi. Dia memejamkan matanya sejenak. “Luna, 6 tahun bisa membuat segalanya jadi berbeda. Termasuk aku dan juga kamu. Dulu kita adalah anak polos yang berusia belasan dan masih berseragam SMP. Tapi sekarang kita menjadi sesosok yang lebih dewasa.” Katanya dengan nada suara yang datar.
“Ehm, yah kau benar juga.” Aku tampak bodoh jika berbicara dengannya. Sepertinya kenangan masa lalu akan menguak kembali. Batinku pelan.
“So, kau kuliah dimana sekarang??”
“Unitomo Surabaya.” Jawabku singkat. “Kamu?”
“Aku tetap disini saja, UB.” Jawabnya. “Jadi, kau pulang kampung sekarang ?”
“Yah, begitulah. Lagipula sekarang kan sedang libur semester.” Aku meminum teh hijauku lagi. “Kamu? Kenapa sampai basah kuyup begitu?”
“Oh, aku habis pulang dari kursus. Saat perjalanan pulang hujan lebat banget, makanya sampai seperti ini.” Katanya sambil tersenyum samar.
“Kau tak berubah yah, selalu gila belajar.” Kataku spontan.
“Benarkah, tidak juga kok. Aku hanya tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku saja. Makanya aku harus belajar mati – matian agar aku bisa menggapai cita – citaku” Jawab Lando datar.
Setelah pembicaraan singkat dan basa – basi itu, tak ada suara di antara kami berdua. Aku dan dia sama – sama terlena dalam keheningan. Ada sesuatu hal yang ingin kuminta darinya. Namun rasanya aku terlalu takut tuk mengatakannya.
“Ehm, boleh minta nomor handphonenya?” Kataku dan Lando secara bersamaan. Kami berdua kaget dan kemudian tertawa bersama – sama.
“Aku tak menyangka kau juga akan berkata seperti itu.” Kata Lando.
“Aku juga.”
“So, berapa nomer handphonemu??” Kata Lando. Dia mengambil handphonenya di saku belakang celana.
Aku menyebutkan sejumlah digit nomer padanya, dan dia mulai menekan tuts – tuts tombol di hpnya. “Ok, sudah aku simpan.” Lando tersenyum. “Aku coba telepon ya??”
“Yah.” Aku mengambil handphone dari tas kecil yang kusandang sejak tadi. Nada handphoneku berbunyi, tertera sebuah nomer di display handphoneku.
“Itu nomerku.” Katanya singkat. “Jangan lupa kamu simpan yah.”
Aku mengangguk mantap, “Makasih Lan, nomermu udah aku save kok.” Tiba – tiba handphoneku berbunyi, sebuah sms dari Mama membuatku tak bisa berlama – lama disini. Dia menyuruhku untuk segera pulang. Sepertinya Mama sangat khawatir padaku.
“Maaf, Lan. Aku pulang lebih dahulu.” Aku beranjak dari tempat dudukku.
“Tapi diluar masih hujan tuh.” Lando melihat jalanan yang masih diguyur hujan dari jendela Café.
“Iyah, aku tau. Tapi hujannya sudah agak reda kok. Tenang aja.” Aku mengacunkan jempolku ke arahnya. “I’ll be fine. Bye.” Aku segere keluar dari Café. Entah perasaanku atau tidak, tapi aku merasa kalau Lando terus menatap kepergianku. Apa rasa itu masih ada dalam dirinya??
@@@@@@
Desember 2006, 6 Tahun lalu. Musim Hujan.
Hujan turun dengan derasnya saat bel pulang SMPN 8 berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Namun mereka tidak segera pulang, mereka masih berdiam diri didepan kelasnya masing – masing. Menunggu hujan reda sembari bersenda gurau dengan teman – teman mereka. Namun, ada juga yang nekat menerjang derasnya hujan hanya untuk bisa segera pulang ke rumah.
Aku hanya bisa diam didepan kelasku, berteduh bersama yang lainnya. Hujan tak kunjung reda juga. Batinku lesu. Aku merapatkan jaket yang kupakai, dan dengan modal nekat aku menerjang hujan saat hujan mulai sedikit reda. Banyak teman – temanku yang juga melakukan itu. Aku berlari hingga menuju gerbang depan sekolah.
Kuhembuskan nafas perlahan, sembari berteduh di bawah pohon depan sekolah. Aku menatap arloji di tanganku gelisah. “Kenapa kak Resi telat menjemputku? Biasanya dia tak begitu.” Ucapku pelan.
Cukup lama aku menanti, Kak Resi belum juga menjemputku. Padahal sekolah sudah mulai sepi walau hujan masih turun. Aku menyesal banget karena tadi menolak tawaran Sisi sahabatku untuk pulang bareng. Tau gini aku kan langsung menerima tawaran itu. Tapi mau gimana lagi, aku takut Kak Resi menjemputku.
Aku pikir aku akan sendirian menghadapi hujan ini, namun ternyata tidak.
“Luna.” Lando keluar dari gerbang sekolah sambil menyetir sepeda tanpa mesinnya. “Kenapa kau hujan – hujan begini? Kau belum dijemput?” Tanyanya heran saat melihatku basah kuyup dengan muka yang sedikit pucat.
“Begitulah.” Aku berusaha tersenyum padanya. Walau aku tau hal ini tak mampu menyembunyikan rasa sedihku karena Kak Resi belum juga menjemputku.
Lando hanya diam, dia kemudian menepikan sepedanya dipagar sekolah. Setelah itu dia menghampiriku dan berdiri disampingku.
“Apa yang kau lakukan, Lan??” Tanyaku heran padanya.
“Tentu saja menemanimu bermain dengan hujan, sekalian saja nungguin kamu sampai kakakmu datang menjemput.” Kata Lando tanpa sedikitpun menoleh padaku.
Aku termangu mendengar perkataannya. Perkataan dari orang yang aku sayangi. Entah sejak kapan aku menyadari perasaanku padanya, namun yang jelas aku senang sekali dia berada disini. Didekatku. Aku menatap wajahnya sembunyi – sembunyi. Dia sangat tampan saat hujan membasahi wajahnya. Ya tuhan, terima kasih atas hal ini. Batinku senang.
Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua. Kami tenggelam dalam pikiran masing – masing. Aku bahkan tak mampu memulai pembicaraan dengannya.
“Setelah lulus nanti, rencananya kau akan melanjutkan kemana?” Tanya Lando dengan wajah yang datar. Dia menghentikan kekakuan diantara kami.
“SMA Bina Bangsa.” Kataku singkat. “Kamu?”
“Entahlah, belum kupikirkan dimana.”
“Kalu saja kau dan aku bisa sama – sama sekolah di tempat yang sama.” Kataku spontan dan saat aku sadar dengan perkataanku aku cepat – cepat meralatnya. “Eh, maksudku ..”
“Boleh juga, entar biar aku coba memikirkannya.” Lando memotong pembicaraanku cepat.
“Benarkah?” tanyaku padanya dengan perasaan senang.
“Yah.” Lando tersenyum padaku.
Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum, apalagi pada seorang cewek. Padahal Lando yang kukenal orang yang sangat dingin dan cuek dengan keadaan sekitar. Dia tak peduli dengan segalanya. Yang dia lakukan hanya belajar belajar dan belajar saja. Dia memang gila belajar. Apalagi dia adalah murid kebanggaan sekolah. Tak heran jika ada kejuaraan dia selalu saja dilibatkan.
Hening kembali menyeruak diantara kami, sebenarnya ada hal yang ingin aku katakan padanya. Mengenai perasaanku padanya. Aku tak tau apakah aku berani melakukannya atau tidak. Namun rasanya aku ingin sekali melakukannya.
“Lando..”
Lando menoleh padaku. “Apa?”
“Ada sesuatu hal yang ingin aku katakan padamu. Sebenernya.. aku.. aku itu sebenernya …”
Tin!! Tin!!
Suara klakson dari mobil Kak Resi menghancurkan segalanya. Kak Resi menghentikan mobilnya tepat dihadapanku. Dia lalu membuka kaca mobilnya, “ Luna, maafin kakak yah. Kakak telat menjemputmu.” Kak Resi mebuka pintu mobilnya dan keluar menghampiriku.
“Ayo cepet masuk, kamu sudah basah kuyp begini.” Perintahnya padaku.
“Yah.” Aku mengangguk pelan. “Eng, kak. Tapi Kakak harus bilang terima kasih pada temanku dulu. Dia yang menemaniku selama aku menunggu kakak disini.” Kataku sambil menoleh kearah Lando yang juga basah kuyup.
“Ouh, terima kasih ya.” Ucap Kak Resi pada Lando saat dia sadar ada seseorang disamping adiknya. “Maaf, sudah merepotkanmu.”
“Tidak apa – apa. Syukurlah kalau Luna sudah di jemput. “ Lando tersenyum pada Kak Resi.
“Err, aku pulang dulu yah Lan dan terima kasih untuk hari ini.” Kataku saat aku sudah berada di dalam Mobil. “Masalah perkataanku tadi, aku harap kau tak memikirkannya.” Kataku ragu – ragu.
“Yah, tenang saja.”
“Kakak pulang dulu ya.. Terima Kasih.” Kata Kak Resi pada Lando yang masih saja tidak beranjak dari tempatnya.
Saat mobil melaju aku melambaikan tanganku padanya dan dia juga membalas lambaian tanganku. Rasanya senang sekali. Aku menutup kaca jendela mobil dan kulihat dari kaca spion bahwa Lando masih diam ditempatnya sambil menatap lekat kepergianku.
“Temanmu itu baik sekali ya.” Kata Kak Resi tanpa menoleh padaku.
“Begitulah.” Jawabku singkat.
“Sepertinya kau suka padanya.” Kata Kak resi sambil tersenyum jahil.
Pipiku langsung memerah saat Kak Resi mengatakan itu, “Kakak ngomong apa sih. Ngawur.” Kataku sambil memalingkan wajahku.
“Kau tau, mana ada cowok yang rela hujan – hujanan hanya untuk menemani temannya. Apalagi dia sampai basah kuyup begitu. Mungkin dia juga punya rasa padamu.” Kak Resi melirikku sambil tersenyum jahil lagi. Aku jadi sebel padanya.
“Sudah kubilang dia itu hanya teman.” Kilahku.
“All right, anggap saja kakak percaya ucapanmu itu.”
@@@@@@
Esok harinya, saat aku memasuki kelas aku tak mendapati sosok Lando. Tempat duduk di pojok depan itu tak ada penghuninya. Apa dia tak masuk? Batinku dalam hati. Aku cemas padanya.
“Raka, apa kau tau Lando kemana?” Tanyaku pada Raka yang duduk sebangku dengan Lando. Raka adalah sahabat dekat Lando, mungkin hanya Raka saja yang bisa memberitahu dimana Lando sekarang.
“Loh, kamu gak tau ya Lun. Dia sakit hari ini. Tadi kutelpon katanya kemarin habis main hujan – hujanan. Gak biasanya dia main hujan – hujanan.” Kata Raka.
“Benarkah dia sakit?” Tanyaku khawatir.
“Kamu gak percaya? Tuh surat keterangan gak masuknya ada di atas meja guru.” Raka menunjukkan surat yang ada di atas meja guru. “Kau khawatir banget sama Lando. Apa yang terjadi antara kau dan dia ?” Tanya Raka spontan dengan nada suara curiga.
“Gak ada apa – apa kok. Kalau teman ada yang gak masuk pasti ada sebersit kekhawatiran kan?” Kataku berkelit.
“Iya sih, tapi kau itu tipe cewek yang cuek, apalagi kalau masalah yang seperti itu. Hayoo.” Goda Raka .
“Apa sih.” Aku menjauhkan diriku darinya supaya tak terus ditanya mengenai hal ini. Rasanya bikin aku sebal saja. Si Raka jadi seperti Kak resi saja. Gerutuku dalam hati.
Saat jam pelajaran dimulai, aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Biasanya sih juga begini, tapi yang ini beda. Pikiranku hanya tertuju pada Lando. Lando tak masuk sekolah karena sakit. Dan itu semua karena salahku. Karena kejadian kemarin. Lando harus hujan – hujanan hanya untuk menemaniku saja. Ternyata fisiknya tak sekuat yang ku bayangkan. Batinku sambil menghela nafas berat.
Bel istirahat berbunyi dan aku segera keluar dari kelas. Aku bahkan tak memperdulikan panggilan Sisi yang heran melihat tingkahku hari ini. Aku tak peduli, ada yang harus aku lakukan.
Aku menuju ke taman belakang sekolah, biasanya pada saat istirahat taman belakang sekolah selalu sepi. Wajar saja karena bagi sisiwa – siswa tidak ada yang menarik disana. Setelah sampai disana, aku mengambil handphone dari saku rokku. Kupencet tombol kontak di handphone. Aku menunggu jawaban telepon dari Lando dengan cemas. Tak berapa lama terdengar sebuah suara.
“Assalamualaikum.”
Suara lamah dan serak Lando terdengar dari balik telepon genggamku. Dia benar – benar sakit.
“Waalaikumsalam. Lando.” Jawabku perlahan.
“Luna. Ada apa telepon?” Tanyanya.
“Nggak ada apa – apa kok. Aku hanya menanyakan keadaanmu saja.” Kataku khawatir.
“Oh itu, aku baik – baik saja kok. Cuma sedikit demam dan juga flu. Tak perlu khawatir.” Jawabnya tenang.
“Tapi kan ..??” Air mataku tiba – tiba saja jatuh. Aku tak tau mengapa.
“Luna, I’ll be fine.” Jawabnya menghiburku.
“Iya.” Aku tersenyum senang dan mencoba untuk tenang. Walau sebenarnya aku benar – benar menghawatirkannya.
“Luna, terima kasih sudah menghawatirkan aku. Aku senang sekali kamu menelpon aku. Aku jadi ingin cepat – cepat masuk sekolah.”
“Sama – sama, lagipula kamu kan sakit karena aku juga. Karena kemarin kamu ..”
“Bukan salahmu, aku begini karena tak bisa menjaga kesehatanku kok.” Lando memotong pembicaraanku, dia tak ingin aku merasa bersalah hanya karena masalah ini.
“Cepat sembuh Lando dan ceoat kembali ke sekolah.” Kataku.
“Yah, terima kasih.”
Bel berbunyi tanda sisiwa harus melanjutkan mengikuti mata pelajaran berikutnya. Aku menutup pembicaraanku dengannya. Perasaanku hari ini sungguh bahagia.
@@@@@@
Kenangan tentang hujan antara aku dan dia tak kan pernah aku lupakan. Bahkan saat pertemuan kembali dengannya hujan juga turun.Hanya saja kisahnya jauh lebih berbeda. Kali ini, aku buka lagi lembaran – lembaran kenanganku dengannya.
@@@@@@
“Hei, Lan Selamat yah.” Raka menghampiri sahabatnya sambil menjabat tangan Lando.
“Selamat kenapa?” Tanya Lando heran.
“Aku tak tau sejak kapan kau menyembunyikan hal ini, tapi tetap saja aku juga akan mengetahuinya. Kau diterima di SMA Harapan Jaya kan?” Kata Raka tersenyum bangga melihat keberhasilan sahabatnya.
Lando hanya diam saja, dia menatap padaku yang juga mendengar pembicaraan antara dia dan Raka. Sedangkan aku mencoba untuk berpura – pura tidak mendengarnya.
“Hei, Lan?” Raka menepuk bahu Lando.
“Eh, iya.” Jawabnya kaget. “Kenapa Rak?” Tanyanya lagi.
“Kau melamun ya?” Tanya Raka.
“Tidak kok. Terima kasih ya.” Jawab Lando. Dia melihat lagi ke arahku dan aku berusaha untuk tak mengetahui keadaan itu.
@@@@@@
“Maafkan aku.” Jawabnya singkat saat dia menemaniku (lagi) di Gerbang sekolah seusai jam pelajaran berakhir.
“Maaf kenapa?” kataku pura – pura tak tau.
“Aku tak bisa menepati janji itu.”
“Aku tak apa – apa kok. Walau kita nantinya tidak satu sekolah toh tetap di satu kota, kan?” Jawabku berusaha untuk tak kecewa. “Lagipula kau mungkin lebih baik bersekolah disana. SMA Harapan Jaya adalah SMA terkenal dan terfavorit jadi sekolah itu sangat cocok denganmu.”
“Benarkah?” Tanya Lando padaku.
“Yah, kau beruntung bisa bersekolah disana nantinya.” Aku berusaha tersenyum untuknya supaya kekecewaanku tak terlihat. Namun sepertinya dia tak bisa dibohongi.
“Kau bohong.” Katanya datar.
“A, aku tidak …” Aku gak bisa melanjutkan kata – kataku karena air mataku sudah meleleh duluan.
“Luna, aku tau kamu kecewa. Tapi aku..” Lando juga tak bisa melanjutkan kata – katanya. Dia sepertinya benar – benar merasa bersalah. Dia berusaha menghapus air mataku dengan jarinya, namun aku menolak.
“I’m fine.” Kataku pelan. Kemudian aku terpaksa meninggalkannya lagi seorang diri di tempat yang sama. Tapi tidak dengan kondisi yang sama seperti dulu. Aku berusaha untuk tidak membuatnya merasa terus terbebani dengan semua itu.
Dan Lando, dia masih saja terus menatap lekat kepergianku.
@@@@@@
“Hhhh..” Aku menghela nafas panjang.
“Kau kenapa?” Tanya Sisi heran melihatku tidak semangat seperti biasanya. Sekarang aku berada di kamar sahabatku Sisi. Biasanya kalau aku sedang suntuk dan bosan aku pasti segera melesat kerumahnya dan membuat kehebohan dikamarnya. Tapi kali ini tidak. Rasanya tidak ada semangat untuk melakukannya. Apalagi jika aku harus mengingat kejadian tadi. Hhh, benar – benar memusingkan.
“Lando akan bersekolah di SMA Harapan Jaya.” Kataku singkat padanya.
“Terus?”
“Kemungkinan besar aku tak kan bisa bertemu dengannya lagi. Bagaimana menurutmu Si?” aku mencoba untuk meminta saran darinya
“Kenapa tak kau katakan saja perasaanmu itu padanya?” Kata Sisi dengan jawaban yang klise menurutku. Yah, hanya Sisi yang tau mengenai perasaanku pada Lando. Hanya dia yang tau.
“Hhh.. kalau itu sih sudah hampir terealisasi namun ternyata ada saja halangan yang terjadi.” Aku mengingat lagi kejadian saat Lando menemaniku hujan – hujanan, disaat itu aku hampir saja mengatakannya. Namun tiba – tiba semuanya hancur gara – gara kedatangan Kak Resi. Kalau saja Kak Resi datang beberapa menit lagi pasti aku bisa mengatakannya. Tapi semua itu hanya sebuah kata ‘Kalau’ dan tak harus disesali.
“Maksudnya gimana tuh? Kau sudah mengatakannya?” Sisi mulai tertarik dengan ceritaku yang terasa mengambang.
“Hampir.” Jawabku lemas. “Sudahlah, daripada membicarakan itu lebih baik kita belajar saja. Bukankah sebentar lagi kita akan menghadapi UN.” Aku mengambil buku di rak belajar Sisi dan membacanya. Walau sebenarnya aku hanya pura – pura saja. Karena pikiranku masih saja tertuju padanya.
Sisi sebenarnya ingin bertanya lebih padaku, namun sepertinya dia mengerti dengan keadaanku yang sedang tak ingin bercerita banyak kepadanya. Makanya dia maklum melihat sikapku tadi.
@@@@@@
26 Juni 2006, Hari kelulusan SMP 8 Angkatan tahun 2006.
Hari ini tiba juga, hari kelulusan siswa – siswi SMP 8. Semua lulus 100%. Di satu sisi aku senang dengan kelulusan ini, namun di satu sisi aku sangat sedih karena nantinya aku tentu tak mungkin bisa berjumpa lagi dengannya, dengan Lando. Aku menatap hampa kerumunan teman – temanku yang bergembira dengan kelulusan ini. Tiba – tiba bahuku disentuh seseorang dar belakang. Aku menoleh, kulihat Lando tersenyum padaku.
“Lando.”
“Luna, bisa kita bicara sebentar.” Pintanya padaku.
Aku mengangguk, Kemudian Lando mengajakku ke bangku depan kelas. Setelah sampai disana, aku mencoba untuk mengatur jarak dudukku dengannya. Tak ingin terlalu dekat dengannya. “Kau mau bicara apa, Lan?” tanyaku penasaran.
Lando hanya diam saja, matanya menerawang entah kemana. Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya. “Luna, maukah kau berjanji?” Tanya Lando padaku tanpa sedikitpun menatap mataku.
“Berjanji apa?” aku balik bertanya padanya.
“Aku tak tau apakah ini sebuah janji atau permintaan, tapi yang harus kamu tau adalah bahwa aku ingin kamu tetap menjadi Luna yang aku kenal seperti sekarang ini. Tetaplah menjadi dirimu meski apapun yang terjadi.”
Aku tertegun mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Lando. Belum pernah dia mengatakan hal ini padaku sebelumnya. Aku menatap Lando nanar, air mataku rasanya ingin jatuh saja. Namun kuurungkan niatku, aku tak ingin Lando melihatku dalam keadaan menangis. “Kau juga Lando. Tetaplah menjadi Lando yang kukenal seperti sekarang.”
“Pasti.” Jawabnya singkat denga nada yang datar juga.
Sunyi kembali menyelimuti diantara kami berdua. Tak ada pembicaraan lagi. Sama seperti dulu saat hujan. Apa aku harus mengatakannya sekarang? Batinku dalam hati. Aku tak ingin menyesali semua keadaan ini. Aku tak mau. Aku sedang bingung saat Lando memcah kesunyian kami.
“Luna, ada satu hal lagi yang ingin aku katakan padamu. Ini jauh lebih penting dari yang aku bicarakan tadi.” Lando yang tadi sama sekali tak menatapku kali ini menatapku langsung. Aku bisa melihat matanya yang membuatku tak pernah bosan untuk menatapnya. “Luna sebenarnya aku ..”
“Lando.” Suara Raka menghentikan pembicaraan antara aku dan juga Lando. “Kau kemana saja, aku mencarimu dari tadi. Ternyata kau ada disini bersama Luna.” Raka menatapku dan juga Lando dengan pandangan menyelidik. “Apa yang kalian lakukan berdua disini?” Katanya begitu sadar kalau kami sedang duduk berdua
“Tidak ada.” Jawab Lando singkat. Dia tak peduli dengan pertanyaan Raka barusan. “Ada apa?” Tanya Lando heran.
“Kau dipanggil Pak Handoko sekarang juga di ruang guru. Katanya penting.”
Lando bangkit dari tempat duduknya, “Maaf Luna aku harus pergi.”
Aku mengangguk, “Ya.”
Lando dan Raka berjalan beriringan menuju ke Ruang Guru. Aku menatap kepergian Lando. “Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?”
@@@@@@
Perpisahan itu begitu menyakitkan. Itu adalah hari terkhir aku bertemu dengannya. Aku bahkan tak sempat mengatakan perasaanku padanya. Semuanya berlalu begitu saja. Bahkan saat hari terakhir disekolahpun aku tak mendapati Lando disana. Padahal saat itu mungkin aku bisa mengatakannya. Namun semua itu hanya rencana saja. Dia pergi berlalu.
Kuingat sebuah perkataan dari sebuah film yang sangat kusukai, “Jika kamu mencintai seseorang, katakanlah jika momen itu datang. Jika tidak kamu akan menyesal untuk selamanya.”. Dan sekarang sudah kurasakan penyesalan itu. Aku mengambil sebuah foto dilaci mejaku. Foto Lando dengan seragam SMP dengan wajah tanpa tersenyum tergambar didalamnya.
Aku menatap lekat foto itu dan entah kenapa air mataku jatuh dan menetes di foto Lando. “Akhirnya aku bisa bertemu denganmu, aku senang.” Bisikku lirih. “Aku merindukanmu.”
@@@@@@
03 April 2010, Musim hujan.
Hubungan pertemananku dengan Lando yang dulu sempat terputus terjalin lagi. Aku senang sekali. Awalnya saat aku coba memberanikan diri untuk mengiriminya sms Lando sama sekali tak meresponnya. Namun lambat laun setelah aku mencobanya lagi Lando akhirnya memberikan balasan. Rasanya senang sekali. Entah kenapa cinta yang dulu sempat menghilang dan tak pernah ku tau dimana akhirnya kembali dan mempertemukanku dengannya.
Namun segalanya berubah ketika Sisi sahabatku semasa SMP datang kerumahku.
“Sisi.” Aku kaget melihat dia berdiri didepan pintu rumahku. “Apa kabar.” Aku memeluk Sisi rindu. “Ya Allah aku benar – benar merindukanmu, masuklah.” Aku mempersilahkan Sisi untuk masuk ke dalam.
Sisi mengangguk, “Sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu Luna.” Kata Sisi dengan nada suara yang sangat serius. “Aku tau kita sudah lama tak bertemu. Waktu itu aku mengikuti jejak Lando untuk bersekolah di SMA Harapan Jaya dan kau di SMA Bina Bangsa. Sejak itu aku sadar bahwa kita tak saling menghubungi lagi.” Kata Sisi berbasi – basi.
“Tunggu dulu, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan padaku?” Aku heran melihat raut muka Sisi yang terlihat tidak bersahabat itu. “Aku tak ingin kau basi – basi, katakan saja langsung!!”
“Aku ingin kamu menjauhi Lando.”
Perkataan Sisi membuatku kaget bukan kepalang. “Da, darimana kamu tau kalau …”
“Aku memang tau mengenai hubunganmu yang terjalin lagi dengannya. karena sahabat kuliahku adalah pacar Lando.”
Bagai petir disiang bolong pernyataan Sisi terhadapku sangat mengejutkan. Aku sudah dibuat kaget olehnya pagi ini. Pikiranku berusaha untuk tak mengerti dan menolaknya, namun sayangnya dia tak mau bersahabat denganku.
“Luna, aku harap kau bisa mengerti. karena sahabatku itu sangat menyayangi Lando. Dia sudah menyayanginya sejak SMA. Bahkan saat ini dia rela mengambil jurusan yang sama dengan Lando supaya bisa terus bersamanya. Dia ..”
“Baiklah aku mengerti.” Aku memotong pembicaraan Sisi dan berusaha tersenyum padanyai. Demi dia aku rela melakukan apapun. Bahkan harus menjauhi Lando sekalipun. “Lagipula sebentar lagi aku akan kembali ke Surabaya kok. Jadi kau dan juga sahabatmu tak perlu khawatir.”
“Terima kasih Luna. Aku yakin kau pasti akan melakukannya untukku.” Sisi memelukku senang.
“Iya.” Aku membalas pelukannya. Sisi mungkin merasa lega dan senang mengenai semua ini. Tapi aku tidak. Mungkin ini adalah akhir dari semuanya.
@@@@@@
04 April 2010, Musim hujan
Hujan turun saat Lando tiba ditempat itu. Sebuah tempat kenangan. Lando teringat akan perkataan Luna ditelepon kemarin.
“Aku ingin bicara denganmu Lando. Apa kita bisa bertemu ?”
“Nnggg … Boleh ketemu dimana ?”
“Tempat dimana pertemuan dan perpisahan itu terjadi”
Dan sekarang Lando berada disini … Di depan gerbang SMP Negeri 8. Bersamaan dengan turunnya hujan yang kini mulai membasahi tubuh Lando membuatku teringat kembali pada kenangan itu. Aku menatap Lando dari kejauhan. “Maafkan aku Lando ..” Bisikku pelan.
Lando melirik jam tangannya untuk kesekian kali dengan tatapan gelisah. “Kau dimana ?” Lando tak beranjak dari tempatnya. Dia tetap terus berdiri meski hujan membasahi sekujur tubuhnya.
Tak berapa lama dari kejauhan Lando melihat seseorang dari kejauhan, Lunakah itu?? Pikir Lando dalam hati. Tapi ternyata tidak, seorang anak kecil dengan kepala plontos datang menghampiri Lando yang tengah berdiri di depan gerbang SMP 8. Anak itu membawa sebuah bungkusan yang ditutup dengan tas plastik agar tidak basah terkena hujan.
“Ini untuk Kakak.” Kata anak itu polos sambil menyerahkan bungkusan plastik itu pada Lando.
“Untukku?” Kata Lando bingung. Dia mengambil bungkusan itu dan melihatnya dengan seksama. “Dari siapa bungkusan ini?” Tanya Lando lagi.
Anak kecil itu menggelengkan kepalanya, “Gak tau.” Anak itu berlari menjauhi Lando dan meninggalkannya dengan tampang penuh tanda tanya.
Lando melihat bungkusan itu lagi dengan seksama, kemudian dia membukanya perlahan. Tertulis sebuah memo diatas bungkusan itu “Untuk Orlando ” Lando semakin bingung dengan tulisan di memo itu. Apa ini dari … Lando tak meneruskan pikirannya, dia melanjutkan membuka bungkusan itu. Sebuah buku kumpulan puisi karya Chairil Anwar dan sebuah memo kecil lagi bertuliskan “Untuk kata yang tersembunyi dan tak terungkapkan. Happy Birthday Orlando. “
Lando melihat ke sekelilingnya, dia berharap kalau Luna akan datang dan mampu menjelaskan semua ini. Namun yang diharapkan tak muncul dihadapannya. Lando hampir putus asa. Akhirnya dia beranjak pergi dari tempatnya dan pergi berteduh sejenak. Lando membuka buku kumpulan puisi karya Chairil Anwar itu. Ada sebuah halaman yang terlipat. Lando membaca halaman yang terlipat itu. Sebuah puisi karya penyair Chairil Anwar
Bila
Bila matahari tenggelam di persaduannya
Jangan bertanya kapan dia akan terbangun
Bila bulan menjadi sabit temaram
Jangan bertanya dia akan menjadi purnama
Bila kau Tanya tentang kesempurnaan
Jangan mencarinya lewat kata – kata
Bila kau menenmpatkan cinta
Jangan berkata kaulah tempatnya
(Bila, Chairil Anwar)
Lando membaca puisi itu berulang – ulang. Beberapa kali alisnya sempat mengernyit, tanda kalau dia tak mengerti. Dia juga sempat membolak – balikkan halaman buku itu berulang kali. Siapa tau Luna memberikan pesan lagi untuknya. Namun, sampai hujan sedikit mulai mereda dia sama sekali tak menemukan apapun.
Lando menutup buku itu dan memasukkannya lagi kedalam bungkusan. Lando memegang bungkusan itu dengan erat. Lalu dia berlari ditengah hujan dan berhenti ditempat asalnya tadi. Lando berhenti ditempat ini lagi. Wajahnya mulai terlihat pucat dan tatapan matanya juga terlihat sayu. Dia bahkan sudah tak peduli lagi dengan rintikan hujan yang kembali turun dengan lebatnya.
Air mataku menetes saat melihat Lando diseberang jalan sana. Dia tetap berdiri tegap walau hujan membasahi tubuhnya lagi. Dia juga tak peduli dengan pandangan orang – orang yang lewat dengan tampang tak mengerti. “Aku ingin sekali menemanimu seperti dulu kau lakukan itu padaku. Dibawah hujan ini. Tapi maafkan aku, aku tak bisa melakukannya. Aku tak ingin ada yang kecewa.”
Aku meninggalkan tempat kenangan itu perlahan. Aku tak ingin Lando tau kalau aku berada tak jauh dari dirinya. Sebelum pergi, aku sempat melihatnya. Pada Lando yang masih kekeuh menungguku. Aku mohon Lando, pergilah dari situ. Jangan menungguku. Batinku khawatir.
Saat aku hendak menuju mobilku, handphoneku tiba – tiba berbunyi. Aku melihat di display handphoneku, ada nama Lando tercantum disana. Aku segera mereject panggilan dari Lando. Takutnya dia menyadari kalau aku berada disini.
Aku memasuki mobil dengan badan yang basah kuyup. Kunyalakan mesin mobilku dan kulajukan perlahan. Saat mobilku mendekati Lando, aku melihatnya lagi dan tersenyum getir padanya lewat kaca jendela mobilku. Lando, semua kenangan masa lalu kita tak akan pernah kulupakan. Kau adalah hidupku di masa lalu, namun kau bukanlah hidupku sekarang. Batinku perih menahan semua ini.
Aku melajukan mobilku cepat karena aku menyadari bahwa Lando tau kalau mobil yang barusan lewat dihadapannya adalah mobil milikku. Sepertinya Lando meneriakkan sesuatu padaku. Tapi aku tak bisa mendengarnya. Kunyalakan radio mobilku dan kukencangkan volume suaranya. Sebuah lagu lawas dari Marcell membawaku pergi dengan perasaan tak karuan.
Semusim tlah kulalui
Tlah kulewati tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu
Masih tersimpan di hati
Masih kuingat kata – kata Kak Resi sesaat sebelum aku melakukan ini, “Dalam hidup ini kau harus bisa memilih, Luna. Dan Kakak harap pilihan kali ini sangatlah bijak. Sehingga kamu tak perlu ada penyesalan nantinya. Lakukan menurut hatimu, maka semuanya akan baik – baik saja.”
Ya, aku tak perlu menyesalinya. Ini adalah pilihanku. Aku tak akan menyesali semua ini. Aku tak ingin menyesal seperti dulu. Lando, kenanganku dengannya tak pernah aku lupakan begitu saja. Kau dan juga kenanganmu akan selau tersimpan disini, di hatiku. Selamat Ulang Tahun Orlando. Semoga kau tak pernah melupakan janjimu dulu padaku. Janji untuk tetap menjadi dirimu yang seperti dulu.
(Tamat)
0 comments:
Posting Komentar