Minggu, 04 Desember 2011

,

[Fan Fiction] "PAPER BIRDS" Part 5

I'm back again, guys^^
Maaf kalo ada yang bosen sama aku ._.v
Gag ada maksud, cuma mau ngepost FF iseng - isengku kok^^V
Yang nyempetin baca makasih ajah :)
Ah, iyah.. please don't copy paste my FF
Walau jelek tapi ini kerja kerasku :D
Let's check this out -->




 Hyun Ra dan Jihwan  bersenda gurau sambil berjalan di lorong rumah sakit menuju ke kamar inap Hyun Ra. Terkadang ada tawa lepas diantara mereka berdua.  Jihwan sedang mendorong kursi roda Hyun Ra dan Hyun Ra sendiri hanya duduk diatas kursi rodanya, membiarkan Jihwan mendorongnya secara perlahan.
“Hari ini menyenangkan, aku tak pernah merasa senang seperti ini sebelumnya selama hidupku.” Ujar Hyun Ra dengan wajah ceria.
“Menyenangkan bukan? Kau mungkin pertama kalinya melakukan itu.”
“Iyah, ini pertama kalinya untukku. Membuat orang lain tertawa dan bahagia itu ternyata sangat menyenangkan lebih dari apapun. Melihat mereka seperti itu, aku merasa hatiku sangatlah senang.”
Jihwan hanya tersenyum mendengar perkataan Hyun Ra itu. Dia tidak menyangka Hyun Ra begitu antusias saat tadi dia menawarkan Hyun Ra untuk menghibur pasien anak – anak di ruang instalasi bersamanya. Tak disangka Hyun Ra pandai membacakan cerita melebihi dirinya, bahkan mimik mukanya saat bercerita terlihat begitu nyata sehingga semua pasien anak – anak yang sedang mendengarkannya terlihat begitu ceria dan gembira. Jihwan senang melihat hal itu. Hyun Ra kini mampu membuat orang lain bergembira ditengah keadaan kakinya yang memang masih terlihat sulit untuk berjalan itu.
“Besok kita kesana lagi khan, Jihwannie?” Tanya Hyun Ra begitu sampai di depan kamarnya. Wajahnya tak lepas dari senyum. Dia menoleh ke arah Jihwan yang sedang mendorong kursi rodanya di belakang dan hendak membuka pintu kamar inap Hyun Ra.
Jihwan menatap Hyun Ra lekat, kemudian dia mengangguk dengan seulas senyumnya. Tanpa kata tapi mampu membuat Hyun Ra tak berhenti tersenyum. Jihwan mendorong kursi roda Hyun Ra memasuki kamarnya.
Namun tiba – tiba mendadak dada Jihwan terasa sangatlah sesak. Dia berhenti mendorong kursi roda Hyun Ra dan memegang dadanya kuat untuk menahan rasa sakit.
‘Tidak… tak seharusnya saat bersamanya.. tak seharusnya terjadi di saat aku bersamanya.. dia belum saatnya mengetahui hal ini…’ Batin Jihwan dalam hati sambil memegang dadanya. Keringat dingin keluar dengan sendirinya, wajahnya mendadak menjadi pucat seketika, dan sebuah cairan kental berwarna merah mulai keluar dari hidung Jihwan. Jihwan ingin pergi meninggalkan Hyun Ra, namun kakinya terlalu kaku hingga dia tidak bisa menggerakkannya sedikitpun.
“Jihwan….” Hyun Ra menoleh ke belakang karena Jihwan tiba – tiba menghentikan dorongannya.
Betapa terkejutnya dia saat melihat Jihwan sedang mengerang kesakitan sambil memegang dadanya kuat – kuat. Mata Hyun Ra membesar kala melihat apa yang terjadi pada Jihwan. Tangannya bergetar secara tiba – tiba.
“Jihwannie.. gwenchanayo?” Tanya Hyun Ra dengan suara bergetar.
Jihwan menatap Hyun Ra dengan sebelah matanya. Dia tersenyum dengan bibir yang bergetar. Mengisayaratkan bahwa dia tidak apa – apa dan tak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Tapi sepertinya hal itu tak mampu membuat hati Hyun Ra tenang. Dia sungguh khawatir, sangat khawatir malah. Apalagi saat melihat cairan kental berwarna merah itu tak berhenti mengalir dari hidung Jihwan.
Hyun Ra ingin sekali menghampiri Jihwan, memeluknya kalau perlu. Tapi melihat kondisinya saat ini sepertinya tidak mungkin dia lakukan. Dia hanya menatap Jihwan perih tanpa bisa melakukan apapun. Tanpa sebab dia tau, cairan hangat itu meleleh dari matanya. Hyun Ra sungguh tidak bisa melihat keadaan Jihwan yang mengerang menahan sakit seperti itu. Hyun Ra tidak bisa.
‘Sebenarnya apa yang terjadi dengannya?’
“Hyu… Hyun… Ra.. ya..” Jihwan menatap Hyun Ra dengan tubuh bergetar. Kini dia bersandar pada dinding sambil terus memegang dadanya. Cairan kental berwarna merah itu tak berhenti keluar dari hidungnya. Kakinya lemas seolah tak mampu berdiri lagi. “A.. aku.. ti.. dak apa.. apa.. A.. Aku.. Aka..n.. ba..ik… ba..ik.. sa.. ja..” Katanya dengan terbata – bata.
“Jihwanniieeee..” Hyun Ra tak percaya dengan perkataan itu. Air matanya semakin deras membasahi pipinya. Dia benar – benar tak sanggup melihat Jihwan dalam keadaan itu.
“Kau… te.. te.. tenang.. sa.. ja..” Tubuh Jihwan bergetar hebat. Matanya kian kabur saat melihat Hyun Ra, dan pertahanannya kian ambruk hingga akhirnya Jay terjatuh tak sadarkan diri.
“Jihwan.. Jihwan…” Hyun Ra mendekati Jihwan dengan kursi rodanya yang dia dorong dengan tangan bergetar. Matanya tak lepas dari tubuh Jihwan yang sudah tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Hyun Ra menjatuhkan dirinya dari kursi roda, dia menyeret kakinya yang masih kaku itu. Mendekatinya, meraih kepala Jihwan yang hidungnya sudah dipenuhi dengan darah. Meletakkan kepala Jihwan di pahanya. Hyun Ra menatap wajah itu.. dia menangis semakin deras..
“Jihwan.. Jihwan.. Jihwan.. JIHWAAAAAANNN~~~”

@@@@@

Hyun Ra menatap nanar sosok yang berada dihadapannya itu. Sosok yang tak pernah lepas dari senyumnya itu kini harus terbaring lemah di atas kasur dengan begitu banyak selang yang melekat ditubuhnya. Hyun Ra ingin menangis, tapi sepertinya dia terlalu lelah untuk menangis dan kini kepalanya pening gara – gara itu. Semalam dia bahkan tak berhenti menangis. Mendengar sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan mengenai Jihwan yang selama ini selalu membuat Hyun Ra penasaran.
Alasan kenapa dia berada di rumah sakit ini dalam waktu yang lama, alasan kenapa dia selalu menutupi kepalanya dengan kupluk merah itu, alasan kenapa dia menghilang selama 3 hari itu, alasan kenapa dokter Lee mengatakan sesuatu yang aneh pada Jihwan saat selesai mengantarnya terapi, dan juga alasan kenapa Jihwan pingsan dan mengeluarkan banyak darah beberapa waktu yang lalu itu.. semuanya sudah terjawab sekarang.
Hyun Ra masih mengingatnya semalam, saat kepala rumah sakit atau mungkin bisa Hyun Ra sebut sebagai Aboeji dari Jeon Jihwan itu membuka semua kenyataan itu kepadanya. Masih Hyun Ra ingat semua perkataannya..
 “Leukimia? Tidak mungkin.” Hyun Ra mendekap mulutnya begitu mendengar kenyataan itu. Kenyataan menyakitkan mengenai Jihwan terungkap sudah. “Anda bercanda khan?” Tanya Hyun Ra dengan suara bergetar, air matanya entah kenapa sudah mengalir dan membasahi pipinya untuk kesekian kalinya.
“Saat pertama kali aku mengetahuinya seperti itulah reaksi ku, sama sepertimu.. tidak bisa mempercayai kenyataan itu.”
“Ta.. tapi.. anda seorang dokter khan? Ahjusshi seorang dokter bukan? Bagaimana bisa dia mengalami penyakit seperti itu sedangkan Ahjusshi sendiri itu adalah seorang dokter yang tentu saja mampu menjaga kesehatannya dengan baik? Eottokeh?”
“Dia.. sepertinya penyakit itu menurun dari ibunya..”
“Apa? Ibunya?”
Dokter setengah baya itu hanya bertopang dagu, wajahnya terlihat begitu lesu dan lelah. Kacamatanya yang kendur dia betulkan dan menatap Hyun Ra nanar.
“10 tahun yang lalu… Ibunya meninggal karena penyakit itu. Aku tak tau, penyakit itu bahkan bukanlah penyakit yang menular kepada keturunannya. Tapi mungkin Tuhan berkehendak lain dengan memberikan itu padanya.” Ucap sang Dokter dengan mata menerawang.
“Tapi.. bagaimana bisa? Dia sama sekali tak menunjukkan indikasi memiliki penyakit itu. Dia bahkan  bisa menari dengan begitu enerjik saat bersama anak – anak di ruang instalasi.” Kata Hyun Ra masih belum mempercayai kenyataan yang ada.
“Heuh…” Dokter Jeon Inhwa menyandarkan tubuhnya  ke kursi, dia mendesah pelan dan memijit keningnya yang sedikit berdenyut. Dia sepertinya benar – benar kelelahan. “Jihwan itu.. sangat pandai menyembunyikan penyakitnya. Jangankan padamu, aku bahkan tak tau mengetahui kondisi dia sebenarnya sebelum aku melihatnya pingsan saat festival sekolah beberapa bulan yang lalu. Saat itu.. aku merasa telah menjadi Ayah yang gagal karena tak mampu merawatnya dan menjaganya demi almarhumah istriku. Aku benar – benar gagal.”
Hyun Ra menatap nanar sosok separuh baya itu dihadapannya. Dia terlihat begitu rapuh saat ini. Hyun Ra mungkin memang memiliki rasa kehilangan akan sesuatu hal di dalam hidupnya, tapi dia tidak pernah mengalami kehilangan seorang sosok yang begitu disayanginya di dalam hidupnya seperti dokter Jeon Inhwa rasakan.
Tiba – tiba pikirannya melayang akan kejadian beberapa minggu yang lalu.. saat Hyun Ra memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari lantai 6, namun hal itu gagal dilakukannya karena Jihwan membawanya kembali dan memberikan Hyun Ra makna kehidupan yang sesunggunya. Dan saat ini Hyun Ra merasakan bahwa Jihwan telah merubah hidupnya. Dan Hyun Ra mulai mensyukuri kehidupannya saat ini.
“Saat aku menangis dihadapannya karena aku merasa telah gagal dalam merawatnya, dia justru merangkulku dan tersenyum padaku. Bahkan perkataannya waktu itu telah membuatku tersadar bahwa aku begitu menyayanginya dan membutuhkannya lebih dari apapun.”
Dokter Inhwa menerawang jauh, mengingat dengan jelas kejadian itu di dalam pikirannya.

 ‘Aboeji, aku seperti ini bukan karena kesalahanmu dalam merawatku. Kau sudah merawatku dengan sebaik – baiknya hingga aku tumbuh seperti ini. Semua yang terjadi padaku itu semua karena tuhan memiliki rencana yang lebih indah untukku. Aku akan menerimanya dengan ikhlas. Aboeji adalah ayah terbaik yang pernah kumiliki, dan akulah orang beruntung yang telah memilikimu di dunia ini. Aku menyayangimu, aboeji.’

 “Kata – kata yang bahkan membuatku bahagia karena telah memilikinya.” Jelas dokter Inhwa dengan mata yang berkaca – kaca. Sepertinya dia akan menangis, tapi egonya mengahalanginya untuk melakukan hal seperti itu dihadapan orang lain.
Hyun Ra meraih tangan Jihwan, dan memasukkan jemarinya ke sela - sela jemari milik Jihwan. Dia mengenggam tangan Jihwan erat seraya menatap wajahnya dengan tatapan sendu. Sejak kemarin hingga kini Jihwan masih belum  sadarkan diri. Hyun Ra juga mendengar dari dokter dan juga perawat yang memeriksa keadaan Jeon Jihwan tadi pagi mengenai usia umurnya  yang sepertinya sudah tak akan lama lagi. Jihwan dalam keadaan kritis saat ini. Kankernya sudah menyebar ke seluruh organ tubuhnya. Hyun Ra merapatkan genggaman tangannya kepada Jihwan. Diletakkannya tangannya di depan mukanya seperti seseorang yang sedang berdoa. Hyun Ra memejamkan matanya.
 Entah kenapa air mata itu keluar untuk kesekian kalinya, padahal Hyun Ra sudah lelah untuk menangis. Tapi ternyata air matanya masih ada untuk menangisi Jihwan. Tiba - tiba jemari - jemari Jihwan yang Hyun Ra genggam itu bergerak secara perlahan. Hyun Ra membuka matanya, dilihatnya jemari itu mulai bergerak konstan dan dilihatnya juga bola mata Jay berputar - putar meski matanya dalam keadaan terpejam.
 "Jihwann... Jihwann..." Ucapnya lirih penuh harap sambil terus memegangi tangan Jihwan.
 Jihwan masih belum membuka matanya, tapi bola matanya masih terlihat bergerak - gerak. Perlahan kelopak mata Jay terbuka sedikit demi sedikit. Dilihatnya sekitar yang masih tampak begitu kabur baginya. Dia mulai menyadari kondisinya saat melihat begitu banyak selang yang menancap di tubuhnya dengan alat pernafasan yang sudah menutupi hidung dan bibirnya. Jihwan menoleh ke arah Hyun Ra yang masih saja menggenggam tangannya. Dilihatnya wajah cantik itu terlihat begitu kacau dan berantakan, tapi di matanya seperti apapun Hyun Ra dia terlihat sangat cantik.
 "Jihwan.. akhirnya kau sadar.." Ucap Hyun Ra lirih, air matanya keluar lagi saat melihat Jihwan membuka matanya.
 "Hyu... Hyun... Ra..." Katanya dengan suara yang terbata - bata dan sedikit tersengal - sengal. Jihwan tersenyum samar dibalik alat pernafasan yang menutupinya, tapi Hyun Ra mampu melihat senyuman itu. Senyuman yang berbeda dari biasanya, senyuman yang terlihat begitu getir bagi Hyun Ra.
 "Kau harus sembuh.. Harus.. Aku akan bersamamu.. Saat kau merasakan sakit itu, aku akan merangkulmu. Biarkan aku berbagi sedikit penderitaanmu seperti yang kau lakukan padaku dulu. Berjanjilah padaku kau akan melakukannya." Katanya sembari mengulurkan kelingkingnya pada Jihwan.
 Dengan tangan yang bergetar Jihwan mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Hyun Ra, dia tersenyum lagi kemudian mengangguk perlahan. 
 "Uljima... Uljima.. A.. aku.. tak ingin melihatmu menangis lagi seperti ini...." Pinta Jihwan memohon dengan suara yang masih bergetar..
 Sedang Hyun Ra hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum.
 'Tuhan... aku memang tak mengerti tentang garis kehidupan yang engkau berikan kepadanya... Sampai kapan dia akan bernafas sebelum kau mengambil nikmat itu darinya... aku memang tak tau.. Tapi, jika masih ada kesempatan untuk bernafas lebih lama untuknya.. aku mohon padaMu Tuhan.. berikan kesempatan itu kepadanya.'

--To be continued--

0 comments:

Posting Komentar