Maaf kalo ada yang bosen sama aku ._.v
Gag ada maksud, cuma mau ngepost FF iseng - isengku kok^^V
Yang nyempetin baca makasih ajah :)
Ah, iyah.. please don't copy paste my FF
Walau jelek tapi ini kerja kerasku :D
Let's check this out -->
Hyun Ra dan
Jihwan bersenda gurau sambil berjalan di
lorong rumah sakit menuju ke kamar inap Hyun Ra. Terkadang ada tawa lepas
diantara mereka berdua. Jihwan sedang
mendorong kursi roda Hyun Ra dan Hyun Ra sendiri hanya duduk diatas kursi
rodanya, membiarkan Jihwan mendorongnya secara perlahan.
“Hari ini
menyenangkan, aku tak pernah merasa senang seperti ini sebelumnya selama
hidupku.” Ujar Hyun Ra dengan wajah ceria.
“Menyenangkan
bukan? Kau mungkin pertama kalinya melakukan itu.”
“Iyah, ini
pertama kalinya untukku. Membuat orang lain tertawa dan bahagia itu ternyata
sangat menyenangkan lebih dari apapun. Melihat mereka seperti itu, aku merasa
hatiku sangatlah senang.”
Jihwan hanya
tersenyum mendengar perkataan Hyun Ra itu. Dia tidak menyangka Hyun Ra begitu
antusias saat tadi dia menawarkan Hyun Ra untuk menghibur pasien anak – anak di
ruang instalasi bersamanya. Tak disangka Hyun Ra pandai membacakan cerita
melebihi dirinya, bahkan mimik mukanya saat bercerita terlihat begitu nyata
sehingga semua pasien anak – anak yang sedang mendengarkannya terlihat begitu
ceria dan gembira. Jihwan senang melihat hal itu. Hyun Ra kini mampu membuat
orang lain bergembira ditengah keadaan kakinya yang memang masih terlihat sulit
untuk berjalan itu.
“Besok kita
kesana lagi khan, Jihwannie?” Tanya Hyun Ra begitu sampai di depan kamarnya.
Wajahnya tak lepas dari senyum. Dia menoleh ke arah Jihwan yang sedang mendorong
kursi rodanya di belakang dan hendak membuka pintu kamar inap Hyun Ra.
Jihwan menatap
Hyun Ra lekat, kemudian dia mengangguk dengan seulas senyumnya. Tanpa kata tapi
mampu membuat Hyun Ra tak berhenti tersenyum. Jihwan mendorong kursi roda Hyun
Ra memasuki kamarnya.
Namun tiba –
tiba mendadak dada Jihwan terasa sangatlah sesak. Dia berhenti mendorong kursi
roda Hyun Ra dan memegang dadanya kuat untuk menahan rasa sakit.
‘Tidak… tak
seharusnya saat bersamanya.. tak seharusnya terjadi di saat aku bersamanya..
dia belum saatnya mengetahui hal ini…’ Batin Jihwan dalam hati sambil memegang
dadanya. Keringat dingin keluar dengan sendirinya, wajahnya mendadak menjadi
pucat seketika, dan sebuah cairan kental berwarna merah mulai keluar dari
hidung Jihwan. Jihwan ingin pergi meninggalkan Hyun Ra, namun kakinya terlalu
kaku hingga dia tidak bisa menggerakkannya sedikitpun.
“Jihwan….” Hyun
Ra menoleh ke belakang karena Jihwan tiba – tiba menghentikan dorongannya.
Betapa terkejutnya
dia saat melihat Jihwan sedang mengerang kesakitan sambil memegang dadanya kuat
– kuat. Mata Hyun Ra membesar kala melihat apa yang terjadi pada Jihwan.
Tangannya bergetar secara tiba – tiba.
“Jihwannie..
gwenchanayo?” Tanya Hyun Ra dengan suara bergetar.
Jihwan menatap
Hyun Ra dengan sebelah matanya. Dia tersenyum dengan bibir yang bergetar.
Mengisayaratkan bahwa dia tidak apa – apa dan tak perlu terlalu
mengkhawatirkannya. Tapi sepertinya hal itu tak mampu membuat hati Hyun Ra
tenang. Dia sungguh khawatir, sangat khawatir malah. Apalagi saat melihat
cairan kental berwarna merah itu tak berhenti mengalir dari hidung Jihwan.
Hyun Ra ingin
sekali menghampiri Jihwan, memeluknya kalau perlu. Tapi melihat kondisinya saat
ini sepertinya tidak mungkin dia lakukan. Dia hanya menatap Jihwan perih tanpa
bisa melakukan apapun. Tanpa sebab dia tau, cairan hangat itu meleleh dari
matanya. Hyun Ra sungguh tidak bisa melihat keadaan Jihwan yang mengerang
menahan sakit seperti itu. Hyun Ra tidak bisa.
‘Sebenarnya apa
yang terjadi dengannya?’
“Hyu… Hyun… Ra..
ya..” Jihwan menatap Hyun Ra dengan tubuh bergetar. Kini dia bersandar pada
dinding sambil terus memegang dadanya. Cairan kental berwarna merah itu tak
berhenti keluar dari hidungnya. Kakinya lemas seolah tak mampu berdiri lagi.
“A.. aku.. ti.. dak apa.. apa.. A.. Aku.. Aka..n.. ba..ik… ba..ik.. sa.. ja..”
Katanya dengan terbata – bata.
“Jihwanniieeee..”
Hyun Ra tak percaya dengan perkataan itu. Air matanya semakin deras membasahi
pipinya. Dia benar – benar tak sanggup melihat Jihwan dalam keadaan itu.
“Kau… te.. te..
tenang.. sa.. ja..” Tubuh Jihwan bergetar hebat. Matanya kian kabur saat
melihat Hyun Ra, dan pertahanannya kian ambruk hingga akhirnya Jay terjatuh tak
sadarkan diri.
“Jihwan.. Jihwan…”
Hyun Ra mendekati Jihwan dengan kursi rodanya yang dia dorong dengan tangan
bergetar. Matanya tak lepas dari tubuh Jihwan yang sudah tergeletak di lantai
tak sadarkan diri. Hyun Ra menjatuhkan dirinya dari kursi roda, dia menyeret
kakinya yang masih kaku itu. Mendekatinya, meraih kepala Jihwan yang hidungnya
sudah dipenuhi dengan darah. Meletakkan kepala Jihwan di pahanya. Hyun Ra
menatap wajah itu.. dia menangis semakin deras..
“Jihwan..
Jihwan.. Jihwan.. JIHWAAAAAANNN~~~”
@@@@@
Hyun Ra menatap
nanar sosok yang berada dihadapannya itu. Sosok yang tak pernah lepas dari
senyumnya itu kini harus terbaring lemah di atas kasur dengan begitu banyak
selang yang melekat ditubuhnya. Hyun Ra ingin menangis, tapi sepertinya dia
terlalu lelah untuk menangis dan kini kepalanya pening gara – gara itu. Semalam
dia bahkan tak berhenti menangis. Mendengar sebuah kenyataan yang begitu
menyakitkan mengenai Jihwan yang selama ini selalu membuat Hyun Ra penasaran.
Alasan kenapa
dia berada di rumah sakit ini dalam waktu yang lama, alasan kenapa dia selalu
menutupi kepalanya dengan kupluk merah itu, alasan kenapa dia menghilang selama
3 hari itu, alasan kenapa dokter Lee mengatakan sesuatu yang aneh pada Jihwan
saat selesai mengantarnya terapi, dan juga alasan kenapa Jihwan pingsan dan
mengeluarkan banyak darah beberapa waktu yang lalu itu.. semuanya sudah
terjawab sekarang.
Hyun Ra masih
mengingatnya semalam, saat kepala rumah sakit atau mungkin bisa Hyun Ra sebut
sebagai Aboeji dari Jeon Jihwan itu membuka semua kenyataan itu kepadanya.
Masih Hyun Ra ingat semua perkataannya..
“Leukimia? Tidak
mungkin.” Hyun Ra mendekap mulutnya begitu mendengar kenyataan itu. Kenyataan
menyakitkan mengenai Jihwan terungkap sudah. “Anda bercanda khan?” Tanya Hyun
Ra dengan suara bergetar, air matanya entah kenapa sudah mengalir dan membasahi
pipinya untuk kesekian kalinya.
“Saat pertama
kali aku mengetahuinya seperti itulah reaksi ku, sama sepertimu.. tidak bisa
mempercayai kenyataan itu.”
“Ta.. tapi..
anda seorang dokter khan? Ahjusshi seorang dokter bukan? Bagaimana bisa dia
mengalami penyakit seperti itu sedangkan Ahjusshi sendiri itu adalah seorang
dokter yang tentu saja mampu menjaga kesehatannya dengan baik? Eottokeh?”
“Dia..
sepertinya penyakit itu menurun dari ibunya..”
“Apa? Ibunya?”
Dokter setengah
baya itu hanya bertopang dagu, wajahnya terlihat begitu lesu dan lelah.
Kacamatanya yang kendur dia betulkan dan menatap Hyun Ra nanar.
“10 tahun yang
lalu… Ibunya meninggal karena penyakit itu. Aku tak tau, penyakit itu bahkan
bukanlah penyakit yang menular kepada keturunannya. Tapi mungkin Tuhan
berkehendak lain dengan memberikan itu padanya.” Ucap sang Dokter dengan mata
menerawang.
“Tapi..
bagaimana bisa? Dia sama sekali tak menunjukkan indikasi memiliki penyakit itu.
Dia bahkan bisa menari dengan begitu
enerjik saat bersama anak – anak di ruang instalasi.” Kata Hyun Ra masih belum
mempercayai kenyataan yang ada.
“Heuh…” Dokter
Jeon Inhwa menyandarkan tubuhnya ke
kursi, dia mendesah pelan dan memijit keningnya yang sedikit berdenyut. Dia
sepertinya benar – benar kelelahan. “Jihwan itu.. sangat pandai menyembunyikan
penyakitnya. Jangankan padamu, aku bahkan tak tau mengetahui kondisi dia
sebenarnya sebelum aku melihatnya pingsan saat festival sekolah beberapa bulan
yang lalu. Saat itu.. aku merasa telah menjadi Ayah yang gagal karena tak mampu
merawatnya dan menjaganya demi almarhumah istriku. Aku benar – benar gagal.”
Hyun Ra menatap
nanar sosok separuh baya itu dihadapannya. Dia terlihat begitu rapuh saat ini.
Hyun Ra mungkin memang memiliki rasa kehilangan akan sesuatu hal di dalam
hidupnya, tapi dia tidak pernah mengalami kehilangan seorang sosok yang begitu
disayanginya di dalam hidupnya seperti dokter Jeon Inhwa rasakan.
Tiba – tiba
pikirannya melayang akan kejadian beberapa minggu yang lalu.. saat Hyun Ra
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari lantai 6, namun hal
itu gagal dilakukannya karena Jihwan membawanya kembali dan memberikan Hyun Ra makna
kehidupan yang sesunggunya. Dan saat ini Hyun Ra merasakan bahwa Jihwan telah
merubah hidupnya. Dan Hyun Ra mulai mensyukuri kehidupannya saat ini.
“Saat aku
menangis dihadapannya karena aku merasa telah gagal dalam merawatnya, dia
justru merangkulku dan tersenyum padaku. Bahkan perkataannya waktu itu telah
membuatku tersadar bahwa aku begitu menyayanginya dan membutuhkannya lebih dari
apapun.”
Dokter Inhwa
menerawang jauh, mengingat dengan jelas kejadian itu di dalam pikirannya.
‘Aboeji,
aku seperti ini bukan karena kesalahanmu dalam merawatku. Kau sudah merawatku
dengan sebaik – baiknya hingga aku tumbuh seperti ini. Semua yang terjadi
padaku itu semua karena tuhan memiliki rencana yang lebih indah untukku. Aku
akan menerimanya dengan ikhlas. Aboeji adalah ayah terbaik yang pernah
kumiliki, dan akulah orang beruntung yang telah memilikimu di dunia ini. Aku
menyayangimu, aboeji.’
“Kata – kata yang bahkan membuatku bahagia
karena telah memilikinya.” Jelas dokter Inhwa dengan mata yang berkaca – kaca.
Sepertinya dia akan menangis, tapi egonya mengahalanginya untuk melakukan hal
seperti itu dihadapan orang lain.
Hyun Ra meraih tangan Jihwan, dan memasukkan jemarinya ke sela -
sela jemari milik Jihwan. Dia mengenggam tangan Jihwan erat seraya menatap
wajahnya dengan tatapan sendu. Sejak kemarin hingga kini Jihwan masih belum
sadarkan diri. Hyun Ra juga mendengar dari dokter dan juga perawat yang
memeriksa keadaan Jeon Jihwan tadi pagi mengenai usia umurnya yang sepertinya sudah tak akan lama lagi.
Jihwan dalam keadaan kritis saat ini. Kankernya sudah menyebar ke seluruh organ
tubuhnya. Hyun Ra merapatkan genggaman tangannya kepada Jihwan. Diletakkannya
tangannya di depan mukanya seperti seseorang yang sedang berdoa. Hyun Ra
memejamkan matanya.
Entah kenapa air mata itu keluar untuk kesekian kalinya, padahal
Hyun Ra sudah lelah untuk menangis. Tapi ternyata air matanya masih ada untuk
menangisi Jihwan. Tiba - tiba jemari - jemari Jihwan yang Hyun Ra genggam itu
bergerak secara perlahan. Hyun Ra membuka matanya, dilihatnya jemari itu mulai
bergerak konstan dan dilihatnya juga bola mata Jay berputar - putar meski
matanya dalam keadaan terpejam.
"Jihwann... Jihwann..." Ucapnya lirih penuh harap sambil
terus memegangi tangan Jihwan.
Jihwan masih belum membuka matanya, tapi bola matanya masih
terlihat bergerak - gerak. Perlahan kelopak mata Jay terbuka sedikit demi
sedikit. Dilihatnya sekitar yang masih tampak begitu kabur baginya. Dia mulai menyadari
kondisinya saat melihat begitu banyak selang yang menancap di tubuhnya dengan
alat pernafasan yang sudah menutupi hidung dan bibirnya. Jihwan menoleh ke arah
Hyun Ra yang masih saja menggenggam tangannya. Dilihatnya wajah cantik itu
terlihat begitu kacau dan berantakan, tapi di matanya seperti apapun Hyun Ra
dia terlihat sangat cantik.
"Jihwan.. akhirnya kau sadar.." Ucap Hyun Ra lirih, air
matanya keluar lagi saat melihat Jihwan membuka matanya.
"Hyu... Hyun... Ra..." Katanya dengan suara yang terbata
- bata dan sedikit tersengal - sengal. Jihwan tersenyum samar dibalik alat pernafasan
yang menutupinya, tapi Hyun Ra mampu melihat senyuman itu. Senyuman yang
berbeda dari biasanya, senyuman yang terlihat begitu getir bagi Hyun Ra.
"Kau harus sembuh.. Harus.. Aku akan bersamamu.. Saat kau
merasakan sakit itu, aku akan merangkulmu. Biarkan aku berbagi sedikit
penderitaanmu seperti yang kau lakukan padaku dulu. Berjanjilah padaku kau akan
melakukannya." Katanya sembari mengulurkan kelingkingnya pada Jihwan.
Dengan tangan yang bergetar Jihwan mengaitkan kelingkingnya ke
kelingking Hyun Ra, dia tersenyum lagi kemudian mengangguk perlahan.
"Uljima... Uljima.. A.. aku.. tak ingin melihatmu menangis
lagi seperti ini...." Pinta Jihwan memohon dengan suara yang masih
bergetar..
Sedang Hyun Ra hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum.
'Tuhan... aku memang tak mengerti tentang garis kehidupan yang
engkau berikan kepadanya... Sampai kapan dia akan bernafas sebelum kau
mengambil nikmat itu darinya... aku memang tak tau.. Tapi, jika masih ada
kesempatan untuk bernafas lebih lama untuknya.. aku mohon padaMu Tuhan..
berikan kesempatan itu kepadanya.'
--To be continued--
0 comments:
Posting Komentar