Senin, 23 Maret 2020

[CATATANKU] BUKAN HUJAN FAVORIT



Mungkin kamulah yang paling ingat saat pertama kali kita bertemu. Rintik hujan di siang itu, kau dan aku duduk bersisian memakai kemeja putih dan celana hitam yang senada. Aku bergumul dengan pikiranku sendiri menunggu namaku dipanggil. Sedangkan kau, sudah berada di dalam sana terlebih dahulu. Begitu lama hingga membuat pikiranku semakin kacau dan cemas. Mungkin sekitar tiga puluh menit kamu berada di ruang yang menurutku saat itu begitu mengerikan, dan kamu akhirnya ke luar. Aku memberanikan diriku bertanya setelah beberapa kali mengurungkan niatku. Menanyakan apa yang teradi di sana, kami mengobrol seperti biasa dan tidak ada yang tau bahwa itu bukanlah pertemuan pertama dan terakhir kita.

Dan memang kita bertemu lagi, di tempat yang sama setelah beberapa minggu berlalu. Awal pertemuan kembali saat itu aku masih ingat aku meminta saran padamu akan suatu hal dan terima kasih sudah memberikan saran yang melegakanku. Aku dan kamu diam-diam saling bertukar pesan, memberikan semangat saat kamu langsung diberikan banyak tugas dari atasan, begitupun sebaliknya saat aku mengalami hal yang sama.

Berulang kali kau mengajakku untuk ke luar bersama, hanya untuk sekedar menyesap kopi dan mungkin berdiskusi. Berulang kali juga aku menolak karena saat itu kondisi keluargaku saat itu sedang tidak memungkinkah. Terima kasih karena tidak menyerah untuk melakukan itu dan membuatku akhirnya memenuhi ajakanmu setelah penolakan yang sangat banyak. Jujur saja aku begitu kagum padamu, pandanganmu begitu luas, kau bercerita banyak hal tentang pengalamanmu selama menimba ilmu di tanah rantau, bercerita segala prestasi yang telah kamu raih dan memiliki hobi yang sama denganku yaitu membaca buku. Meski buku yang kita baca justru bersebrangan.

Kita pernah bertemu di alun-alun. Aku mengenalkanmu beserta satu orang lagi temanku sebagai teman kantorku kepada ibuku. Kami mengobrol biasa dan aku mungkin memberikan sedikit perhatianku padamu mengenai celana yang kau pakai. Kau menepis tanganku saat aku berusaha menyentuh celanamu yang robek. Dan suatu ketika kau pernah mengatakan padaku bahwa kejadian itu yang membuatmu menaruh hati padaku, juga tentang impian bersama yang sama-sama menginginkan adanya perpustakaan pribadi di rumah.

Suatu malam di bulan Ramadhan kau mengatakan bahwa kau menyukaiku, kau ingin serius denganku. Tentu saja aku tidak meragukan itu, sejujurnya aku senang dan aku mulai menyukaimu juga. Dan sebelum aku meyakinkan diriku aku pernah jujur padamu mengenai kondisiku, dan terima kasih kau bersedia untuk menerimaku. Kau pernah mengirimiku suaramu saat mengaji, betapa gilanya aku saat itu. Mengatakan pada mereka kau mungkin lah orangnya. Dan aku pernah mengirimu sebuah pesan dalam tulisan hangul supaya kau bisa mengartikannya dan aku tau kamu berusaha melakukannya untukku.

I can see the world through your eyes.”

Aku meminta kita untuk menjalani hubungan ini terlebih dahulu, diam-diam kami berhubungan. Sebisa mungkin tidak membuat banyak kontak di lingkungan tempat kerja karena tidak menginginkan hubungan ini diketahui oleh rekan-rekan kami meski kami sudah sering menjadi bahan olok-olokan dan godaan dari mereka. Dan lagipula perkataan salah satu temanku mengenai tidak dibolehkannya pasangan di dalam satu kantor membuatku banyak berpikir mengenai masa depan kami berdua nantinya. Sedangkan aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini karena aku memiliki keluarga yang harus aku perjuangkan dengan segenap hatiku.

Kau pun mengatakan kita akan sama-sama berjuang jikalau nantinya kita berhasil lolos tes CPNS, hingga nantinya masalah seperti ini bukanlah halangan bagi kita untuk bersama. Kami suka bertemu diam-diam sepulang kantor, seminggu sekali. Memang segalanya terasa baik-baik saja meski terkadang jujur saja aku bosan dengan isi pesanmu yang menurutku monoton. Aku pernah mengeluhkan itu, betapa aku menginginkan sebuah pesan yang bisa membuatku semangat untuk membahas apapun.  Dan aku sempat protes karena kau seolah menyindirku melalui video di status whatsapp-mu.

Menjelang hari ulang tahunku, aku memintamu untuk menebak kapan tanggal lahirku. Kau mengatakan bahwa kau tau tapi kenyataannya kau salah menebak. Kau mengajakku ke sebuah café dan kita duduk berhadapan di sore yang berbalut langit senja kala itu. Kau memberiku coklat sebagai hadiah ulang tahunku, disitu kau menggenggam jemariku, menatapku dan menanyakan mengenai keseriusannya untuk hubungan ini dan masa depan ini dan aku hanya menunduk dan tidak berani menatap matanya. Jawabanku tetaplah sama. Jujur saja saat jemarimu menyatu dengan jemariku tidak kurasakan getaran yang sama saat dulu pertama kali ada seseorang yang melakukan itu padaku. Terasa biasa saja dan akupun tak tau kenapa.

Aku pernah kesal saat kamu bilang aku gak seharusnya pergi dengan temanku, aku tidak suka reaksimu yang berlebihan dan bahkan diam-diam mengontak saudaraku, bertemu tanpa sepengetahuanku untuk membicarakan masalah ini. Aku tau aku salah dan aku akan lebih berhati-hati lagi untuk ke depannya. Aku tidak suka kamu memeriksa handphone-ku dan melihat dengan siapa aku berhubungan, meski aku memang mengizinkanmu dengan terpaksa. Seolah privasiku ditelanjangi, sejak saat aku memproteksinya supaya gak ada orang yang sembarangan membukanya.
Kau cemburu saat aku saling bertukar pesan sangat banyak pada teman perempuanku. Karena mungkin jika membandingkan dengan isi pesan kita yang memang terasa monoton. Kau pernah tiba-tiba mengatakan memblokirku karena tau aku mengobrol dengan rekan kantorku yang membahas masalah pekerjaan, membuatku kaget dan bertanya-tanya apa kesalahanku. Aku tidak tau seperti apa rekan-rekanku memandangku seperti yang pernah kau ceritakan bahwa aku dijadikan objek olokan, mungkin bagimu ini aku begitu polos sampai aku perlu dilindungi sedemikian rupa seolah aku tidak mampu berdiri di atas kakiku sendiri.

Aku berusaha menurunkan egoku, kecuekanku, hingga berusaha untuk mengolah kata-kataku sendiri saat bersamamu supaya kamu tidak merasa tersinggung dan disaat bersamaan aku tidak tau bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Kau selalu menunda mengatakan sesuatu hal padaku dan berdalih itu tidak penting sembari bilang akan mengatakannya nanti yang aku sendiri tidak tau itu kapan. Membuatku mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin kamu katakan dan mencemaskan segala kemungkinan yang tidak kuinginkan.

Aku tidak suka kau menanyakan luka masa laluku yang dengan amat sengaja aku tutup dan kau membukanya kembali, membuatku teringat pada kenangan yang tidak seharusnya aku ingat. Dengan rapat aku menutupnya lalu kau ingin sekali menggedornya meski aku sudah mengatakan jangan sesekali memaksaku untuk membukanya. Kau akhirnya menyerah, namun luka itu terbuka kembali dalam pikiranku.

Lambat laun intensitas perselisihan kita semakin sering. Dimulai dari segala kesalahpahaman yang tak berujung. Segala keinginanmu yang harus aku turuti tanpa peduli sedikitpun mendengar penjelasanku dan tanpa aku perlu tau alasannya. Kau selalu mengatakan semua demi kebaikanku. Mengatakan betapa egoisnya aku berulang kali saat aku mengabaikan pesan juga telepon beruntunmu layaknya seorang penguntit pada pertengkaran yang menurutku tidak penting dan kau malah menyulutnya disaat yang tidak tepat. Kau meminta maaf setelahnya, menghamba untuk dimaafkan. Mungkin memaafkan memang semudah itu, tapi segalanya tak mungkin bisa aku lupakan. Sikapmu yang seolah tidak terjadi apapun semakin menyakitku. Terkadang kau memblokir-ku secara tiba-tiba dengan alasan ingin menenangkan diri. Kini aku tau seperti apa rasanya diblokir.

Aku pernah menangis di sudut kamarku pada pertengkaran yang entah aku tidak tau ke berapa kali, dada yang sesak hingga sulit untuk bernafas, tangan yang bergetar, dan melodi lagu terbaru AKMU “How Can I Love The Heartbreak You are The One I love” akan selalu mengalun tak berhenti menemaniku saat itu. Menggambar dengan perasaan yang kacau hingga aku tidak tau kemana lagi tempatku untuk melampiaskan segala hal yang menyesakkan itu.

Awal tahun ini adalah puncak dari segala kecewaku. Mengataiku dengan sebutan Pendusta disaat aku bahkan mengatakan yang sesungguhnya. Kau tetap tidak mempercayaiku, memintaku ini itu yang membuatku semakin lelah dan muak. Aku kembali diam, membiarkanmu merongrong sesuka hatimu lalu seperti biasa meminta maaf dan bersikap apa yang sudah dilakukannya seolah tidak pernah terjadi. Sedangkan lukaku semakin menganga.

Hatiku yang sudah dipenuhi dengan berbagai kekecewaan tidak bisa menampungnya lagi. Perasaan ini perlahan memudar dengan sendirinya. Aku meminta maaf karena katamu “Aku sengaja menghindar dan mengulur waktu.” Tapi tidak mudah bagiku untuk memutuskan segalanya. Di satu sisi aku memiliki ketakutanku sendiri, namun di sisi lain aku juga memikirkan bagaimana perasaanmu yang menggantung. Aku memintamu untuk menunggu, karena ada begitu banyak kecemasan yang mengurungku saat itu.

Berulang kali kau seolah menyindirku, dan dengan sengaja aku mengacuhkanmu. Awal bulan lalu setelah segala hal melelahkan yang terjadi padaku aku memutuskan untuk menemuimu setelah sekian lamanya. Aku bercerita banyak hal, tentang keluh kesahku. Bagaimana hatiku saat ini yang tidak bisa memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Aku meminta maaf karena tidak bisa menjadi seperti yang seharusnya kita inginkan. Dan tidak ingin menyakitinya lebih dalam dengan terus menghindarinya.

Aku minta maaf untuk segala luka yang sudah aku berikan kepadamu dan kini aku sadar bahwa selama ini kita saling melukai. Kuharap dengan melepaskanmu saat ini rasa sakitmu akan menghilang dan akupun mendoakan kebahagiaanmu dengan siapapun wanita yang kelak menjadi bagian dari hidupmu. Maafkan aku karena aku tidak bisa memberikan kesempatan seperti yang kamu inginkan, aku ingin melepaskan yang selama ini mengungkung diriku.

Perasaanku padamu pernah ada, aku pernah mencemburui teman wanitamu. Membuat perasaanku semakin insecure dan aku sadar betapa tidak ada apa-apanya aku darinya. Aku tidak pernah menangis karena laki-laki semenjak kisahku dengan Hatsukoi berakhir. Betapa berartinya kamu bagiku.

Kamu tau bahwa aku menyukai Hujan. Dan kamu adalah hujanku dulu..

Si penyuka pantai dan senja…

Aku meminta maaf untuk kisah kita yang kuakhiri dengan epilog yang menyakitkan.

Terima kasih sudah berbagi kisah denganku, semoga segala impianmu yang pernah kau bagi padaku kala itu dapat kau wujudkan. Maaf aku tidak bisa menemanimu dan terima kasih untuk botol minuman berwarna biru yang pernah kau berikan padaku. Kamu juga tau warna kesukaanku.

Akhir kata, kuharap kau membaca pesanku yang sempat aku kirimkan padamu lalu aku hapus supaya mengembalikan sebuah novel yang pernah kamu pinjam padaku waktu itu. Kamu tau betapa berharganya novel itu bagiku J

0 comments:

Posting Komentar