Kusebut dia adalah seseorang yang pertama kali mengajarkan padaku bahwa cinta bisa begitu menyenangkan dan menyedihkan di saat yang bersamaan. Dia yang datang padaku, mengulurkan tangannya padaku disaat kesendirian selalu menjadi teman setiaku. Dia memberikan senyuman dan kepercayaan diri yang sedari dulu kutelan habis hingga tak bersisa. Dia yang melihatku tanpa memandang aku sebagai sesosok yang menyedihkan. Dia adalah awal tak dari segala suka dan lukaku.
Aku berusaha percaya bahwa cinta tidak seburuk tangisan
teman-temanku yang hatinya patah dan terluka, bahwa cinta bisa saja tak pernah
memandangmu serupawan apa dirimu saat itu. Bahwa setiap perhatian yang
ditujukan untukku adalah sebuah ketulusan yang membuatku ingin selalu merasakan
kenyamananmu tanpa akhir. Namun aku terlalu tenggelam pada keraguan-raguanku,
pada rasa takutku, pada egoku hingga pada akhirnya dia memilih menyerah dan
pergi secara perlahan tanpa memberikan alasan.
Aku tersentak, penyesalanku tak akan pernah merubah apapun.
Aku ingin bertanya alasan atas kepergiannya, namun bibirku terasa kelu untuk
berbicara. Berulang kali aku melewatkan berbagai macam kesempatan saat
bersamanya, berulang kali juga aku menyesal kenapa aku tak bisa
mengutarakannya. Padahal ada begitu banyak kata yang telah kurangkai dalam
otakku, namun tetap saja tak pernah ada satupun kata yang keluar. Aku hanya
menunduk di hadapannya, memainkan kata-kata dalam pikiran hingga bungkam pada
akhirnya menjadi pilihanku atas dasar terlalu takut mendengar jawabannya.
Aku lalu menyadari bahwa perasaanku sudah terlanjur jatuh
begitu dalam kepadanya. Aku seorang diri, hanya ditemani suara isakan tangis
yang tertahan dari dalam kamar gelap karena merindukannya. Aku hanya bisa
meratapi kebodohanku sendiri, penyesalanku sendiri, hingga lelah dan tertidur.
Kupandangi dirimu dari jarak pandang jauh, punggungmu yang
dipeluk oleh perempuan lain dari belakang saat kau dan dia sedang berboncengan.
Kubaca setiap kata romantis kalian dari media sosial yang membuatku semakin
merasakan sakit yang tak berkesudahan.
Sudah ada begitu banyak kisah yang diutarakan padaku mengenai
dirimu dari teman-temanku. Namun hatiku tetap bergeming, masih dengan kamu dan
perasaanku. Kuakui bahwa terkadang aku membenci perlakuanmu terhadapku, aku
benci betapa cepatnya kamu maju melangkah sedangkan aku masih tertatih bersama
dengan kenangan yang kau buat untuk pertama kalinya padaku. Kusadar bahwa
perlakuanmu bukan sepenuhnya salahmu, ini juga salahku.
Tolong maafkan aku yang masih egois menyukaimu hingga waktu
berganti dan memisahkan kita sedemikian rupa. Tolong maafkan aku karena masih
menyimpan begitu banyak kenangan kebersamaan kita dan membiarkannya terbuka
hingga kini. Tolong maafkan aku yang masih saja ingin tahu kabarmu dari
teman-temanku.
Suatu ketika menjelang kelulusanku ada suatu tekad yang
muncul di dalam diriku, aku ingin mengutarakannya padamu di hari kelahiranmu
yang ke-23. Sudah sekian lama kita tidak pernah dipertemukan sejak kau memilih
untuk pergi. Aku mengirimimu sebuah surat pribadi di akun media sosialmu, yang
berisi mengenai perasaanku yang selama ini kupendam dan alasan kepergiannya.
Berhari-hari aku menunggu balasannya sampai suatu ketika kamu membalasnya. Aku
hanya bisa menangis setelah membacanya, ada perasaan lega namun tak sepenuhnya
lega. “Jika memang aku terlalu baik untukmu kenapa kau malah pergi dan tidak
menetap? Apakah kamu masih belum cukup baik untukku?” Tapi setidaknya ini bisa
mengurangi sedikit bebanku yang selama ini kutanggung seorang diri.
Sejujurnya, setelah waktu berganti aku berhasil menekan
perasaanku terhadapmu semenjak saat itu. Namun aku masih belum berhasil
menyembuhkan lukamu begitu saja. Luka itu belum mengering hingga kini. Aku
berusaha untuk membuka hatiku perlahan pada laki-laki lain, tetapi pada
akhirnya semuanya berujung pada dirimu yang masih belum kulupakan sepenuhnya.
Hingga suatu ketika kudengar kabar dirimu yang akan
bersanding dengan seorang wanita pilihanmu di pelaminan. Seketika hatiku mencelos,
luka itu kembali, rasa sakit itu datang lagi. Kau akan berbahagia sedangkan aku
masih diam di tempat yang sama. Ini salahku, bukan salahmu.
Kumohon, untuk dirimu yang selama ini masih mendiami hati
yang kuletakkan di dasar tak berujung… berbahagialah.
Kau pantas mendapatkannya, dia pantas mendapatkanmu. Urusan
lukaku biarlah aku yang menanggungnya seperti biasanya.
Tolong doakan diriku juga, yang berharap kebahagiaanku akan
segera datang menyusulmu. Terima kasih untuk segala yang telah kau berikan
untukku, terima kasih telah menjadi pelajaran hidup pertamaku akan mencintai
dan meninggalkan.
15/02/17
13.33 WIB
Farida Mutia Agustin
0 comments:
Posting Komentar