All photos by pctology |
Sebenarnya aku tidak tau
kenapa tiba-tiba terbersit ingin menulis setelah sekian lama aku tidak
melakukannya. Jadi, izinkan aku melakukan hal ini di penghujung akhir tahun
2021. Di tahun ini ada beberapa hal yang kulewati, tidak luar biasa, setidaknya
aku bisa melakukan sedikit langkah untuk maju. Yah, memang hanya sedikit tapi
tidak apa-apa. Setidaknya aku bergerak dari tempatku yang sebelumnya.
Aku membuat sebuah keputusan besar dalam hidupku. Yah, menikah adalah keputusan yang sangat besar aku ambil di tahun ini. Padahal tidak ada sebersit pun di pikiranku untuk mengubah statusku yang telah sekian lama aku sandang sejak lahir. Sejujurnya aku sempat maju mundur untuk melakukannya, ada banyak sekali keraguan dalam proses perjalanannya. Bohong jika aku tidak merasakan pergulatan batin di sekitarku, apalagi di usiaku di mana berbagai pertanyaan krusial soal pasangan hidup selalu menjadi makanan sehari-hari. Aku tidak pernah berkeinginan untuk menikah awalnya, mengingat ada beberapa faktor yang membuatku merasa aku tidak perlu menikah. Aku tidak cemburu melihat orang-orang di usiaku sudah menikah dan memiliki anak. Apalagi mengingat aku memiliki kenangan tidak baik dengan beberapa kisah asmaraku sebelumnya. Seolah aku tidak membutuhkan pasangan untuk bisa menjalani hidupku.
Tapi saat seseorang itu muncul di hidupku dan berkeinginan untuk berada di tahap serius denganku, aku mulai berpikir ulang. Karena ini bukanlah keputusan yang mudah untuk orang sepertiku. Di satu sisi aku tidak ingin melepaskannya, namun di sisi lain aku membiarkannya memilih untuk pergi jika ingin. Tapi aku memutuskan untuk maju dan memasrahkan segalanya kepada Allah setelah beberapa kali namanya kurapalkan dalam setiap doaku di setiap akhir sholatku.
Ada momen aku menangis sangat hebat kala itu,
tangisan yang aku sendiri tidak tau alasannya apa. Ingatan-ingatan di masa lalu tiba-tiba saja muncul tanpa sempat bisa aku kendalikan. Betapa kalutnya perasaanku saat itu. Aku ketakutan, aku
mengalami kekhawatiran akut. Sebutlah itu bernama Anxiety Disorder. Aku memiliki banyak sekali
skenario-skenario buruk yang sudah aku buat di dalam kepalaku dan aku tidak
bisa mengendalikannya. Sungguh, aku merasa tidak pernah sekalut itu sebelumnya.
Aku akhirnya berani membuka diri dan pergi menemui profesional untuk
menceritakan traumaku, sebuah inner child yang tak pernah tuntas dan malah aku
biarkan mengendap di dasar.
Memori-memori masa kecil itu
muncul kembali saat bercerita, bibir dan tanganku bergetar. Air mataku tumpah ruah dalam mengingat setiap kejadian itu. Aku tak pernah
bercerita sebelumnya kepada orang lain kecuali kepada saudara perempuanku. Para
monster itu merenggut masa kecilku dan memberikan trauma yang sampai sekarang
tak bisa aku maafkan. Berulang kali aku menyalahkan diriku sendiri atas
kejadian itu, berulang kali pula aku mengatakan banyak sekali kata pengandaian
sebagai bentuk kekecewaan terhadap diriku sendiri yang tak berdaya saat
menghadapinya.
Dokter mengatakan padaku
untuk belajar memaafkan diri sendiri, tapi tak pernah memberitahuku bagaimana
caranya. Apa yang aku harus lakukan untuk bisa mencapai tahap seperti itu?
Sedangkan aku terkadang merasa diriku rendah dan menjijikkan. Berpikir bahwa
ada seorang laki-laki yang bersedia menerimaku saja adalah sebuah
ketidakmungkinan, meski dia tidak tau seperti apa masa laluku.
Aku bahkan tak memiliki
keberanian untuk menceritakan hal itu kepada ibuku. Aku merasa sangat bersalah
kepada beliau karena bersikap ketus dan tidak dewasa dalam menghadapi
pergulatan batinku itu hingga membuat beliau bertanya-tanya perihal sikapku.
Maafkan aku ibu, sungguh.. I didn’t mean to hurt you like this but I just can
not explain how I felt that time. I feel sorry for my behavior, Mom . Terlepas
dari semua itu aku ingin berterima kasih karena sudah menjadi seorang malaikat
penjagaku di saat kedua sayapmu dibawa pergi oleh almarhum bapak di Surga sana
beberapa tahun silam. Thank you for being a strong mom for your children.
Seorang psikolog menyarankan
padaku untuk menulis setiap luka itu sampai detail di sebuah buku catatan untuk
meluapkannya dalam bentuk tulisan. Aku melakukannya hingga membuatku harus
berulang kali berhenti menulis hanya untuk sekedar menghela nafas sejenak
terhadap semua kejadian di masa lalu yang menimpaku. Aku merasa lega setelah
menulis semua itu meski masih ada beberapa perasaan yang mengganjal, aku
sendiri tidak tau apa. Aku masih belum memiliki cukup keberanian untuk mencari
tau lebih dalam. Maafkan aku yang pengecut ini.
Sedikit cerita tentang pasanganku
ini, dia tidak setampan para husbu-husbu anime-ku dan juga dedek-dedek gemes
korea-ku. Tapi setidaknya dia orang yang bersedia menerima kekuranganku,
mendengarkanku tanpa menjustifikasiku seperti apa dan tidak memaksakan
kehendaknya. Seseorang yang mengakui ketidaksempurnaannya dan bersedia untuk
belajar bersamaku yang tidak sempurna ini. Terima kasih sudah meyakinkan aku
untuk membuat komitmen bersama.
Aku tau dia tidak
menjanjikan kehidupan yang indah seperti dongeng setelah pernikahan, tapi yang
ku tau apapun yang terjadi kita akan melaluinya bersama. Terima kasih untuk
memilih tinggal.
Terima kasih juga kepada
orang-orang baik yang selalu menjadi support system hebatku. Tanpa kalian semua
aku mungkin tidak bisa berada di titik ini. Tolong jangan pernah bosan denganku
untuk tahun-tahun selanjutnya.
Last but not least,