Judul Buku
: Fish in the Water
Penulis :
Lee Chanhyuk
Editor :
Ruth Priscilia Angelina
Tebal
Halaman : 176 Halaman
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Sinopsis
Kesedihan, harapan, idealisme,
pertanyaan-pertanyaan... Seon memiliki semuanya. Ia bertekad mencari panutan,
seseorang yang ia anggap layak menjawab segala pertanyaannya tentang seni dan
hidup. Ia bertemu Hae-ya suatu hari, dan gadis itu mengubah cara pikirnya
selama ini.
Hae-ya bagai peri kecil yang terombang-ambing di laut tanpa kepastian dan tanpa pedoman dalam menjalani hidup. Namun itulah Hae-ya, memikat dengan caranya sendiri.
Meski bukunya tidak terlalu tebal, tapi dampaknya membekas di benak. Mungkin setelah selesai, pembaca justru bertanya-tanya, apakah arti semua ini. Yang jelas, pembaca mampu menyelami sedikit pikiran Lee Chanhyuk lewat buku ini.
Sumber
: Gramedia Instagram
Ulasan
Alasan
membeli buku ini karena ini karya Lee Chanhyuk AKMU, salah satu duo grup kakak
adik korea yang tiap merilis karya-karyanya selalu sopan masuk telinga.
Perilisan album “Sailing” tahun 2019 itu berbarengan dengan perilisan
buku debutnya judul “Fish in the water” yang merupakan salah satu judul
lagunya AKMU di Album Sailing. Apalagi buku ini memulai debutnya
sebagai salah satu debut buku yang laris manis di pasaran dan disukai di Korea
sana. Saat tau Gramedia membawa buku ini ke versi Indonesia tanpa ragu
langsung saja pesan. Oke segitu dulu sesi curcolnya, maaf kalau intronya
kebanyakan. Haha..
PERINGATAN !!
RESENSI INI MENGANDUNG BEBERAPA SPOILER!! YOU'VE BEEN WARNED BEFORE
“Terkadang,
orang-orang lupa apa yang harus mereka takuti. Karena itulah mereka takut pada
hal-hal yang remeh. Contohnya, seorang anak kecil yang takut dikucilkan, atau
orang-orang yang takut tidak sempat menyelesaikan pekerjaan mereka pada waktu
yang ditentukan.” (Hal. 75)
Bersama
Hae-ya, Seon seolah menemukan bagian dari dirinya yang hilang selama ini.
Mereka akhirnya melakukan perjalanan bersama. Berbagi kisah dan pandangan
hidup. Bagi saya, hal yang menarik dari buku ini adalah sosok Hae-ya itu
sendiri. Hae-ya adalah sosok yang penuh misteri dengan pemikiran out of
the box-nya. Dia juga suka melakukan hal-hal gila yang menurut Seon tidak
umum dilakukan oleh kebanyakan orang, tapi Seon menyukai itu semua. Bagi Seon,
Hae-ya adalah musiknya. Tapi bagi Hae-ya laut adalah musiknya. Hae-ya mencintai
laut hingga dia sampai meletakkan impiannya di sana. Tak salah jika Seon
menyebut bahwa tokoh utama dalam kisah ini adalah Hae-ya sedangkan dia adalah
tokoh pendukungnya dan pelengkap kisahnya. Karena memang begitulah adanya.
Sampai akhir pun sosok Hae-ya masih penuh teka teki, seolah penulis sendiri
sengaja melakukannya dan membiarkan pembaca menginterprestasikan sendiri
seperti apa Hae-ya yang sebenarnya.
Seon
menceritakan seorang Hae-ya dengan keindahan. Tak heran kita terkadang dibawa
hanyut dalam kata-katanya yang penuh damba terhadap wanita yang membuatnya
jatuh cinta itu. Tapi di satu sisi kita juga dibuat ikut merasakan perasaan
Seon yang dijungkirbalikkan pada kenyataan yang tengah dihadapinya.
“Orang-orang
menunggu dan menginginkan sesuatu yang positif, tetapi pada kenyataannya,
mereka lebih mementingkan gangguan-gangguan remeh. Mereka hanya mengejar
hal-hal negatif!” (hal. 120 -121)
Buku
ini penuh dengan filosofi dalam memaknai arti kehidupan. Kau akan dibawa
menyelami kata demi kata indah nan puitis yang membuatmu berpikir dan bertanya
mengenai segala macam hal yang terjadi di hidup kita. Sejujurnya sungguh tidak
menyangka Chanhyuk bisa membuat buku seperti ini, aku tidak meragukan
kejeniusannya dalam membuat musik dan menulis lirik yang mampu menggugah hati
pendengarnya. Karena aku juga baru tau kalau Chanhyuk sendiri tidak begitu suka
membaca dan menggemari buku, tapi di buku debutnya ini Chanhyuk sukses membuat
saya sebagai pembacanya mengagumi bagaimana dia membagikan pandangan hidupnya
serta dengan pemilihan kata yang tak kalah indah. Dia juga menggambarkan detail
ceritanya dengan sangat baik.
Oh
iya, selain mengambil sudut pandang Seon buku ini juga mengambil sudut pandang
Yangi di salah satu babnya pada alur maju. Yangi sendiri adalah seorang yang
memutuskan untuk menarik diri dari hiruk pikuknya manusia dan keramaian kota.
Saat sedang dalam pencarian tempat baru, disitulah dia bertemu dengan Seon dan
café “Bintang Kecil”-nya di pinggir pantai. Bagi Yangi, Seon adalah seseorang
yang rapuh. Dan hanya dari sorot matanya saja Yangi tau ada kesedihan yang
tertahan di sana. Dari situ, Yangi menjadi teman Seon dengan harapan dia bisa
membantunya bangkit dalam melewati semua yang telah dilalui selama ini.
Sub
bab dari buku ini adalah judul-judul lagu di dalam Album Sailing,
bahkan Chanhyuk meletakkan beberapa penggalan lirik lagu di sana yang memang
berhubungan dengan ceritanya. Mungkin bagi sebagian orang buku ini akan susah
dipahami, karena jujur saja saya harus membaca buku ini sampai dua kali dalam
satu waktu dan mengulang beberapa bagian untuk bisa mencernanya. Sayangnya buku
ini terlalu singkat, tapi ditutup dengan meninggalkan kesan yang mendalam bagi
pembacanya. Akan ada berbagai pertanyaan yang terbersit dalam pikiranmu setelah
kamu menyelesaikan novel ini. Karena ini buku terjemahan jadi saya berharap
tidak mengurangi makna dari bahasa aslinya. Saya sampai penasaran apakah buku
aslinya juga sepuitis buku terjemahannya. Haha.
“Hidup
dan mati tidak bisa dibedakan berdasarkan pengertian penegasan atau
penyangkalan, tetapi dengan naluri. Jika seseorang merasa kematian bukan ‘akhir
hidup’ seperti yang dipikirkan sebagian orang, maka taka da alasan bagi kita
untuk berkabung baginya.” (Hal. 147)
Direkomendasikan
saat membaca buku ini sambil mendengarkan lagu-lagu Akmu di dalam Album Sailing biar
lebih feel aja bacanya. 4/5 Bintang untuk Fish
in the Water .
0 comments:
Posting Komentar