Mungkin kamulah yang paling ingat
saat pertama kali kita bertemu. Rintik hujan di siang itu, kau dan aku duduk
bersisian memakai kemeja putih dan celana hitam yang senada. Aku bergumul
dengan pikiranku sendiri menunggu namaku dipanggil. Sedangkan kau, sudah berada
di dalam sana terlebih dahulu. Begitu lama hingga membuat pikiranku semakin
kacau dan cemas. Mungkin sekitar tiga puluh menit kamu berada di ruang yang
menurutku saat itu begitu mengerikan, dan kamu akhirnya ke luar. Aku
memberanikan diriku bertanya setelah beberapa kali mengurungkan niatku.
Menanyakan apa yang teradi di sana, kami mengobrol seperti biasa dan tidak ada
yang tau bahwa itu bukanlah pertemuan pertama dan terakhir kita.
Dan memang kita bertemu lagi, di
tempat yang sama setelah beberapa minggu berlalu. Awal pertemuan kembali saat
itu aku masih ingat aku meminta saran padamu akan suatu hal dan terima kasih
sudah memberikan saran yang melegakanku. Aku dan kamu diam-diam saling bertukar
pesan, memberikan semangat saat kamu langsung diberikan banyak tugas dari
atasan, begitupun sebaliknya saat aku mengalami hal yang sama.
Berulang kali kau mengajakku
untuk ke luar bersama, hanya untuk sekedar menyesap kopi dan mungkin
berdiskusi. Berulang kali juga aku menolak karena saat itu kondisi keluargaku
saat itu sedang tidak memungkinkah. Terima kasih karena tidak menyerah untuk
melakukan itu dan membuatku akhirnya memenuhi ajakanmu setelah penolakan yang
sangat banyak. Jujur saja aku begitu kagum padamu, pandanganmu begitu luas, kau
bercerita banyak hal tentang pengalamanmu selama menimba ilmu di tanah rantau,
bercerita segala prestasi yang telah kamu raih dan memiliki hobi yang sama
denganku yaitu membaca buku. Meski buku yang kita baca justru bersebrangan.
Kita pernah bertemu di alun-alun.
Aku mengenalkanmu beserta satu orang lagi temanku sebagai teman kantorku kepada
ibuku. Kami mengobrol biasa dan aku mungkin memberikan sedikit perhatianku
padamu mengenai celana yang kau pakai. Kau menepis tanganku saat aku berusaha
menyentuh celanamu yang robek. Dan suatu ketika kau pernah mengatakan padaku
bahwa kejadian itu yang membuatmu menaruh hati padaku, juga tentang impian
bersama yang sama-sama menginginkan adanya perpustakaan pribadi di rumah.
Suatu malam di bulan Ramadhan kau
mengatakan bahwa kau menyukaiku, kau ingin serius denganku. Tentu saja aku
tidak meragukan itu, sejujurnya aku senang dan aku mulai menyukaimu juga. Dan
sebelum aku meyakinkan diriku aku pernah jujur padamu mengenai kondisiku, dan
terima kasih kau bersedia untuk menerimaku. Kau pernah mengirimiku suaramu saat
mengaji, betapa gilanya aku saat itu. Mengatakan pada mereka kau mungkin lah
orangnya. Dan aku pernah mengirimu sebuah pesan dalam tulisan hangul supaya kau
bisa mengartikannya dan aku tau kamu berusaha melakukannya untukku.
“I can see the world through your eyes.”
Aku meminta kita untuk menjalani
hubungan ini terlebih dahulu, diam-diam kami berhubungan. Sebisa mungkin tidak
membuat banyak kontak di lingkungan tempat kerja karena tidak menginginkan
hubungan ini diketahui oleh rekan-rekan kami meski kami sudah sering menjadi
bahan olok-olokan dan godaan dari mereka. Dan lagipula perkataan salah satu
temanku mengenai tidak dibolehkannya pasangan di dalam satu kantor membuatku
banyak berpikir mengenai masa depan kami berdua nantinya. Sedangkan aku tidak
bisa meninggalkan pekerjaan ini karena aku memiliki keluarga yang harus aku
perjuangkan dengan segenap hatiku.
Kau pun mengatakan kita akan
sama-sama berjuang jikalau nantinya kita berhasil lolos tes CPNS, hingga
nantinya masalah seperti ini bukanlah halangan bagi kita untuk bersama. Kami
suka bertemu diam-diam sepulang kantor, seminggu sekali. Memang segalanya
terasa baik-baik saja meski terkadang jujur saja aku bosan dengan isi pesanmu
yang menurutku monoton. Aku pernah mengeluhkan itu, betapa aku menginginkan
sebuah pesan yang bisa membuatku semangat untuk membahas apapun. Dan aku sempat protes karena kau seolah
menyindirku melalui video di status whatsapp-mu.
Menjelang hari ulang tahunku, aku
memintamu untuk menebak kapan tanggal lahirku. Kau mengatakan bahwa kau tau
tapi kenyataannya kau salah menebak. Kau mengajakku ke sebuah café dan kita
duduk berhadapan di sore yang berbalut langit senja kala itu. Kau memberiku
coklat sebagai hadiah ulang tahunku, disitu kau menggenggam jemariku, menatapku
dan menanyakan mengenai keseriusannya untuk hubungan ini dan masa depan ini dan
aku hanya menunduk dan tidak berani menatap matanya. Jawabanku tetaplah sama.
Jujur saja saat jemarimu menyatu dengan jemariku tidak kurasakan getaran yang
sama saat dulu pertama kali ada seseorang yang melakukan itu padaku. Terasa
biasa saja dan akupun tak tau kenapa.
Aku pernah kesal saat kamu bilang
aku gak seharusnya pergi dengan temanku, aku tidak suka reaksimu yang
berlebihan dan bahkan diam-diam mengontak saudaraku, bertemu tanpa
sepengetahuanku untuk membicarakan masalah ini. Aku tau aku salah dan aku akan
lebih berhati-hati lagi untuk ke depannya. Aku tidak suka kamu memeriksa handphone-ku dan melihat dengan siapa
aku berhubungan, meski aku memang mengizinkanmu dengan terpaksa. Seolah
privasiku ditelanjangi, sejak saat aku memproteksinya supaya gak ada orang yang
sembarangan membukanya.
Kau cemburu saat aku saling
bertukar pesan sangat banyak pada teman perempuanku. Karena mungkin jika
membandingkan dengan isi pesan kita yang memang terasa monoton. Kau pernah
tiba-tiba mengatakan memblokirku karena tau aku mengobrol dengan rekan kantorku
yang membahas masalah pekerjaan, membuatku kaget dan bertanya-tanya apa
kesalahanku. Aku tidak tau seperti apa rekan-rekanku memandangku seperti yang
pernah kau ceritakan bahwa aku dijadikan objek olokan, mungkin bagimu ini aku
begitu polos sampai aku perlu dilindungi sedemikian rupa seolah aku tidak mampu
berdiri di atas kakiku sendiri.
Aku berusaha menurunkan egoku,
kecuekanku, hingga berusaha untuk mengolah kata-kataku sendiri saat bersamamu
supaya kamu tidak merasa tersinggung dan disaat bersamaan aku tidak tau
bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Kau selalu menunda mengatakan sesuatu
hal padaku dan berdalih itu tidak penting sembari bilang akan mengatakannya
nanti yang aku sendiri tidak tau itu kapan. Membuatku mempertanyakan apa yang
sebenarnya ingin kamu katakan dan mencemaskan segala kemungkinan yang tidak
kuinginkan.
Aku tidak suka kau menanyakan
luka masa laluku yang dengan amat sengaja aku tutup dan kau membukanya kembali,
membuatku teringat pada kenangan yang tidak seharusnya aku ingat. Dengan rapat
aku menutupnya lalu kau ingin sekali menggedornya meski aku sudah mengatakan
jangan sesekali memaksaku untuk membukanya. Kau akhirnya menyerah, namun luka
itu terbuka kembali dalam pikiranku.
Lambat laun intensitas
perselisihan kita semakin sering. Dimulai dari segala kesalahpahaman yang tak
berujung. Segala keinginanmu yang harus aku turuti tanpa peduli sedikitpun
mendengar penjelasanku dan tanpa aku perlu tau alasannya. Kau selalu mengatakan
semua demi kebaikanku. Mengatakan betapa egoisnya aku berulang kali saat aku
mengabaikan pesan juga telepon beruntunmu layaknya seorang penguntit pada
pertengkaran yang menurutku tidak penting dan kau malah menyulutnya disaat yang
tidak tepat. Kau meminta maaf setelahnya, menghamba untuk dimaafkan. Mungkin
memaafkan memang semudah itu, tapi segalanya tak mungkin bisa aku lupakan.
Sikapmu yang seolah tidak terjadi apapun semakin menyakitku. Terkadang kau memblokir-ku
secara tiba-tiba dengan alasan ingin menenangkan diri. Kini aku tau seperti apa
rasanya diblokir.
Aku pernah menangis di sudut
kamarku pada pertengkaran yang entah aku tidak tau ke berapa kali, dada yang
sesak hingga sulit untuk bernafas, tangan yang bergetar, dan melodi lagu
terbaru AKMU “How Can I Love The
Heartbreak You are The One I love” akan selalu mengalun tak berhenti
menemaniku saat itu. Menggambar dengan perasaan yang kacau hingga aku tidak tau
kemana lagi tempatku untuk melampiaskan segala hal yang menyesakkan itu.
Awal tahun ini adalah puncak dari
segala kecewaku. Mengataiku dengan sebutan Pendusta disaat aku bahkan
mengatakan yang sesungguhnya. Kau tetap tidak mempercayaiku, memintaku ini itu
yang membuatku semakin lelah dan muak. Aku kembali diam, membiarkanmu
merongrong sesuka hatimu lalu seperti biasa meminta maaf dan bersikap apa yang
sudah dilakukannya seolah tidak pernah terjadi. Sedangkan lukaku semakin
menganga.
Hatiku yang sudah dipenuhi dengan
berbagai kekecewaan tidak bisa menampungnya lagi. Perasaan ini perlahan memudar
dengan sendirinya. Aku meminta maaf karena katamu “Aku sengaja menghindar dan
mengulur waktu.” Tapi tidak mudah bagiku untuk memutuskan segalanya. Di satu
sisi aku memiliki ketakutanku sendiri, namun di sisi lain aku juga memikirkan
bagaimana perasaanmu yang menggantung. Aku memintamu untuk menunggu, karena ada
begitu banyak kecemasan yang mengurungku saat itu.
Berulang kali kau seolah
menyindirku, dan dengan sengaja aku mengacuhkanmu. Awal bulan lalu setelah
segala hal melelahkan yang terjadi padaku aku memutuskan untuk menemuimu
setelah sekian lamanya. Aku bercerita banyak hal, tentang keluh kesahku. Bagaimana
hatiku saat ini yang tidak bisa memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Aku
meminta maaf karena tidak bisa menjadi seperti yang seharusnya kita inginkan.
Dan tidak ingin menyakitinya lebih dalam dengan terus menghindarinya.
Aku minta maaf untuk segala luka
yang sudah aku berikan kepadamu dan kini aku sadar bahwa selama ini kita saling
melukai. Kuharap dengan melepaskanmu saat ini rasa sakitmu akan menghilang dan
akupun mendoakan kebahagiaanmu dengan siapapun wanita yang kelak menjadi bagian
dari hidupmu. Maafkan aku karena aku tidak bisa memberikan kesempatan seperti
yang kamu inginkan, aku ingin melepaskan yang selama ini mengungkung diriku.
Perasaanku padamu pernah ada, aku
pernah mencemburui teman wanitamu. Membuat perasaanku semakin insecure dan aku sadar betapa tidak ada
apa-apanya aku darinya. Aku tidak pernah menangis karena laki-laki semenjak
kisahku dengan Hatsukoi berakhir.
Betapa berartinya kamu bagiku.
Kamu tau bahwa aku menyukai
Hujan. Dan kamu adalah hujanku dulu..
Si penyuka pantai dan senja…
Aku meminta maaf untuk kisah kita
yang kuakhiri dengan epilog yang menyakitkan.
Terima kasih sudah berbagi kisah
denganku, semoga segala impianmu yang pernah kau bagi padaku kala itu dapat kau
wujudkan. Maaf aku tidak bisa menemanimu dan terima kasih untuk botol minuman
berwarna biru yang pernah kau berikan padaku. Kamu juga tau warna kesukaanku.
Akhir kata, kuharap kau membaca
pesanku yang sempat aku kirimkan padamu lalu aku hapus supaya mengembalikan
sebuah novel yang pernah kamu pinjam padaku waktu itu. Kamu tau betapa
berharganya novel itu bagiku J